pembuka


Selasa, 29 Mei 2012

Cerpen


© Cinta Tiada Akhir ©

                                                       
            “Jika aku dapat mengulangnya kembali,, aku pasti memilih dirinya bukan dia.” Desahku.
            “Apa yang ingin kamu ulang kembali Tara?” tanya Elise yang membuatku tersadar dari lamunan masa laluku. Elise adalah teman sekelasku di fakultas psikologi.
            “Kamu bertanya kepadaku Elise?” tanyaku.
            “Tidak… aku bertanya kepada Arisugawa…” jawab Elise kesal. “Emangnya siapa lagi mahasiswi di ruang kelas ini yang sering melamun selain kamu Tara?”
            “Oh… maaf…” kataku nyengir. “Aku… aku ingin mengulang waktu kembali.” Desisku.
            “Oh… siapa yang kau maksudkan dia dan dirinya?”
            “Bukan siapa-siapa.” Lirihku pelan.
            “Kamu memang gadis yang sangat misterius Tara.”
            “Hem?? Maksud kamu apa?” tanyaku tidak mengerti.
            Elise menatapku dalam-dalam, kemudian tersenyum yang membuatku semakin tidak mengerti apa maksudnya, “Seisi kampus selalu menyebutmu gadis cantik yang penuh dengan kemisteriusan. Kau memiliki rahasia yang membuat kami semua penasaran, karena kau juga ahli dalam hal menyimpan rahasiamu. Bahkan,, diriku saja yang teman dekatmu tidak dapat memahami dirimu. Kau orang yang sangat membingungkan.”
            Aku,, orang yang sangat membingungkan?? Huuh… pantas saja mereka tidak dapat memahamiku. Bahkan dia juga.
            “Begitu ya?” tawaku.
            “Ya begitulah…” senyum Elise, lalu Elise beranjak meninggalkan mejaku.
* * *
            Di saat jam kelas kosong berhubung dosen tidak datang, aku berjalan-jalan di taman belakang universitas. Aku duduk di rumput-rumputan dan bersandar di bawah pohon Mahoni. Saat ini di Paris sedang musim panas, tidak ada daun yang hijau lagi. Jika ada pun, hanya beberapa di antaranya saja.
            Aku memandangi langit yang begitu biru dan berawan, tetapi cuaca hari ini sangat panas, untung saja masih ada angin yang bersahabat, menyapa tubuh ini yang kepanasan. Angin ini begitu sangat menyejukkan dan sedikit meringankan penat dan beban pikiranku.
            Karena aku sangat menikmati kebaikan sang angin, aku tidak menyadari kalau ada seseorang yang menghampiriku.
            “Apa yang kau lakukan di sini??” tanya pria manis di sampingku — dia pun berbaring di rerumputan sambil memejamkan kedua matanya. Mungkin dia juga menikmati angin yang sangat bersahabat di kala cuaca panas seperti ini. Dia terlihat begitu tampan dengan posisi tubuh yang berbaring di atas rumput hijau sambil menutup kedua matanya, di tambah lagi, hembusan angin yang membuat rambutnya bergerak-gerak pelan.
            Tanpa sadar, aku terus menatapinya, entah apa yang menarik dari dirinya, sehingga aku menatapinya. Aku merasa dirinya mirip dengan dia. Tapi aku tidak tahu, apa yang membuat mereka mirip. Aku penasaran, bahkan sangat penasaran.
            “Kenapa??” katanya pelan. Aku memalingkan wajahku. Aku mengira kalau dia tidak tahu aku sedang memperhatikannya, padahal matanya masih tetap terpejam. Aku sangka dia tadi benar-benar tertidur.
            “Kau sedang berpikir apa??” katanya lagi — matanya masih tetap terpejam. “Kau memikirkan dia..?” kini matanya terbuka dan memandangi langit, “… atau dia??” dia berpaling menatapku, kini pertanyaannya semakin mendalam sama seperti tatapan matanya.
            “Maksud kamu?” tanyaku bingung. Dia tersenyum — senyumnya begitu lembut sama seperti dirinya. Aku heran melihat dirinya yang begitu aneh. Pertama, dia datang menghampirku seperti sudah mengenaliku. Kedua, dia tahu apa yang sedang kupikirkan. Ketiga, dia menatapku dengan penuh isyarat. Dan keempat, kini dia tersenyum melihatku. Ada apa sebenarnya dengan dia??
            Tiba-tiba dia tertawa — tawa itu tawa yang sangat menyenangkan. “Kenapa tertawa?”  tanyaku semakin bingung.
            “Kau begitu aneh dan lucu.” Dia masih tetap tertawa. Dia begitu senang melihat aku yang keheranan?? Pria ini begitu aneh. “Mereka salah,  jika menyangka dirimu itu sangat misterius. Padahal kau begitu aneh.” Katanya lirih sembari tersenyum simpul. Kini pandangannya beralih ke langit. Syukurlah, karena aku begitu gugup dipandangi oleh dirinya, aku merasa seperti orang bodoh saja.
            Entah kenapa, aku merasa kalau tatapannya begitu kosong saat dia memandangi langit yang begitu cerah. Apa dia juga sedang memikirkan seseorang??
            “Aku sering melihatmu duduk di sini.” Lirihnya pelan, sehingga membuatku tertarik untuk memandangnya. “Apa kau terus memikirkan mereka, makanya kau selalu duduk disini??” sambungnya, “kau tahu, aku juga selalu duduk di tempat ini, bahkan hampir setiap hari. Karena di tempat ini aku bisa mengingat dia dan melihatnya kembali. Dia yang tidak dapat kugapai lagi, dia yang cinta dan jiwanya tidak dapat ku kembalikan. Aku tidak bisa mengembalikannya kembali kepada dirinya. Karena aku begitu mencintainya… Dia hanya dapat kuingat dan kulihat dari kejauhan. Dialah yang selalu membuatku bahagia dan tersenyum. Dia juga lah yang mengingatkanku akan kehidupan yang sebenarnya. Aku sangat merindukannya.”
            Ternyata dia sama seperti diriku. Sama-sama menyedihkan…
            “Aku tidak menyedihkan. Tapi, dirimulah yang menyedihkan…” desisnya.
            Kenapa dia bisa mengetahui apa yang aku pikirkan?
            “Jangan mengira,, kalau aku tidak tahu tentang dirimu… gadis kecil.” Katanya lembut.
            Degh… gadis kecil?? Kata-kata itu. Itu adalah kata-kata….
            Dia bangkit, lalu menatapku dan tersenyum simpul.
            “Aku.. duluan ya! Jangan lama-lama duduk sendirian di sini. Entar kamu hilang…” katanya menggodaku — tersungging senyuman manis dibibirnya.
            Aku ingin mengatakan sesuatu kepadanya, tapi kenapa bibir ini tidak dapat digerakkan. Pikiranku penuh dengan segudang pertanyaan yang ingin aku tanyakan kepadanya,, tapi yang kulakukan hanyalah diam dan menatapi kepergian pria aneh itu. Bahkan aku saja tidak tahu siapa dia, dan tidak tahu siapa namanya.

{{{
            Sejak kejadian hari itu pikiranku semakin bertambah kacau. Aku semakin tidak dapat melupakan mereka, bahkan pria misterius kemarin. Kenapa pria aneh itu semakin mengingatkanku dengan 2 orang yang tidak dapat aku lupakan dalam hidupku? Dia… ya, dia… aku harus bertemu dengannya,, aku benci keadaan seperti ini.
            Sudah 4 hari aku mencarinya ke tempat yang sama, yaitu taman belakang universitas, tetapi aku tidak dapat menemukannya. Dia bagaikan sosok makhluk misterius yang hilang ditelan bumi begitu saja.
            Apakah dia bukan mahasiswa di kampus ini?? Tidak mungkin… karena saat itu dia datang ketika kampus sedang beroperasi, tidak ada orang luar yang boleh masuk ke universitas ini kecuali mahasiswa dan dosen. Pikirku.
            “Huuh…” desahku panjang setelah duduk di bawah  pohon mahoni. “Aku sudah mencarinya kesemua fakultas di kampus ini,, sampai-sampai ke kelas senior dan junior. Tetapi, aku juga tidak dapat menemukannya.” Lirihku.
            Dia bagaikan bayangan,, bayangan yang hanya ada di dalam pikiranku saja… Bayangan yang tidak pernah ada… Kenapa?? Kenapa aku harus selalu menyesal pada akhirnya?? Menyesal, karena membiarkannya  pergi. Menyesal,, karena salah untuk memilih. Dan menyesal,, karena tidak menanyakan siapa pria misterius itu sebenarnya… Aku… aku benar-benar menyesal…
{{{
            Saat di perjalanan pulang dari kampus yang tidak jauh dari apartement tempat tinggalku,, aku berhenti di taman kota dan memperhatikan orang-orang yang ada di taman.
            Baru kusadari, bahwa saat ini aku bisa tersenyum melihat orang-orang yang begitu gembira di taman kota itu. Mungkin sejak kejadian 5 tahun yang lalu, yang membuatku tidak pernah tersenyum kembali.
            Sambil tersenyum simpul, aku berjalan-jalan di taman itu. Kakiku terhenti seketika saat aku melintasi bangku taman yang kosong. Aku berhenti bukan karena bangku itu kosong tetapi karena bangku itu,,, tempat aku dan mereka selalu duduk bertiga.
            Dahulu, setiap sore hari, seperti sekarang ini,, kami pergi ke taman ini,, bermain di tempat ini,, dan tertawa bersama. Melalui suka dan duka bersama-sama.
            Aku mendekati bangku itu. Sambil  menghela nafas, aku duduk di bangku itu. Semilir angin sejuk menyapaku dengan belaian lembutnya, sehingga membuatku merasa nyaman dan tenang.
            “Bolehkah aku duduk di sini,, gadis kecil??” tanya seseorang kepadaku. Aku menoleh,, sungguh terkejutnya diriku melihat pria yang bertanya kepadaku. Dia…
{{{
            Dia adalah  pria misterius yang aku cari selama 4 hari ini. Tanpa menghiraukan diriku dia duduk di sebelahku, dan tersenyum kepadaku, senyum itu masih sama seperti senyum yang kemarin — senyum yang sangat lembut.
            “Akhirnya kita bertemu juga ya.” Pria misterius itu memulai pembicaraan.
            Aku hanya mengangguk setuju.
            Dia beralih memandang lurus kedepan. Walaupun bibirnya masih menyunggingkan sebuah senyuman manis tapi matanya berkata tidak. Matanya terlihat begitu sendu dan sayu. Tatapannya begitu kosong. Apa yang sebenarnya terjadi dengan dirinya? Dia semakin membuatku penasaran.
            “Kau tetap tidak berubah ya.” Lirihnya.
            Apa maksudnya? Dia menatapku kembali. “Kau masih suka duduk sendirian…” perkataannya serius tapi apa yang dikatakannya itu benar. “…sudah lupakan saja.” Tawanya.
            Aku mengalihkan pandanganku darinya. Aku merasa setiap saat aku memandangnya, dia bisa mengetahui apa yang ada dalam benakku.
            “Kenapa kau selalu tahu?” desisku pelan.
            “Karena… karena  jiwa mu ada bersamaku…” katanya lirih.
            “Hem??” kenapa aku yang yang jadi bingung dengan jawaban dari pertannyaan ku sendiri.
            “Aku tau yang kau pikirkan… dan aku tau maksud pertanyaanmu tadi.” Desahnya. Dia menatapku begitu lekat, sehingga membuatku melemparkan pandangan kedepan.
            “Apa kau tau apa yang saat ini ada di pikiranku?” tanyaku.
            “Ya…” desahnya, “…aku tahu… Saat ini kau sedang memikirkan dia dan aku. Kau ingin bertemu dengan orang yang kau pikirkan saat ini kan? Sekarang kau sudah dapat melihatnya.”
            “Apa maksudmu? Sudah dapat melihatnya?” tanyaku bingung.
            “Kau sudah dapat melihat orang yang ingin kau temui. Sekarang ini dia ada dihadapanmu.”
            Aku terdiam sejenak dan tertawa.
            “Akhirnya,, kau bisa tertawa lagi. Setahu diriku, sudah lama kau tidak tertawa, semenjak kejadian itu.” Katanya lembut setelah melihat aku tertawa.
            Bagaimana aku tidak tertawa,, perkataannya selalu membuatku bingung.
            “Kejadian apa?”
            “Kau memang orang yang lucu, Tara…”
            Tara?? Bagaimana dia bisa tau namaku??
            “Jangan dipikirkan dari mana aku tahu. Kan sudah aku katakan kalau aku tahu tentang dirimu.”
            Aku memandangi dua orang remaja yang sedang berjalan di depanku. Kedua remaja itu sangat romantis. “Kau selalu membuatku bingung…”
            “Bukan aku, tetapi dirimulah yang membuat dirimu bingung. Bahkan aku juga bingung dengan semua yang ada pada dirimu, Tara…” Katanya lembut.
            Aku?? Apa sih maksud  perkataannya. Siapa dia sebenarnya??
            “Kau masih belum mengerti juga Tara?”
            Aku hanya menggeleng lemah.
            Dia tertawa melihatku menggeleng. Tawa itu, tawa yang sudah lama tidak pernah aku lihat lagi. Aku merindukan tawa itu. Kenapa aku merasa begitu mengenali tawanya? Kenapa tiba-tiba rasa rinduku akan dia; yang entah kemana, hilang begitu saja setelah melihat tawa pria misterius ini.
            “Kau masih saja seperti dulu Tara, tidak berubah sedikit pun, kau tetap saja bodoh, gadis kecil.”  Bisiknya — tawanya kini berubah menjadi senyuman yang lembut.
            “Kalau kau bilang aku tidak berubah sedikit pun,, kau salah. Karena aku sudah berubah, karena aku sekarang menyesal. Padahal dulu saat dia menyakinkanku kalau aku bakalan akan menyesal, aku dengan yakin bilang kalau aku tidak akan pernah menyesal. Tapi,, sekarang aku baru sadar kalau aku menyesal telah membiarkannya pergi dari hidupku. Aku benar-benar menyesal. Dan aku sekarang berubah, karena aku bukanlah  gadis kecil lagi.” Kataku lemah.
            Dia menatapku, sinar matanya begitu teduh. Aku menyukai sinar mata itu, aku merasa begitu nyaman.“Bagi ku kau tetap lah gadis kecil yang dulu aku cinta…”  dia beralih memandang ke bawah, “aku tahu kalau kau bakalan menyesal Tara, karena aku tahu apa yang menyebabkan dirimu meninggalkannya.”
            Degh…
            Apa aku tidak salah mendengar?? Gadis kecil yang pernah dicintainya? Aku??
            “Ya… kau Tara… gadis yang pernah ku cintai bahkan sampai detik ini. Kau juga belahan jiwa ku. Separuh jiwa ku ada bersama denganmu Tara. Dan sekarang ini, aku ingin kau mengembalikannya kepadaku.” Katanya datar.
            “Apa kita pernah saling mengenal?? Kau begitu aneh,, bagaimana bisa kau membaca pikiranku??”
            “Dan bagaimana bisa kau melupakan orang yang ingin kau temui kembali?? Bagaimana bisa kau melupakan cinta pertamamu itu gadis kecil??”  gumamnya dingin.
            Dia menatapku, tatapannya tajam sehingga membuat hatiku merasa seperti dihunus pedang tajam.
            Aku mengalihkan pandanganku ke depan, “aku…”
            “Sudahlah… mungkin belum waktunya kau ingat akan semuanya. Mungkin suatu saat kau akan mengerti apa maksudku. Aku akan terus menunggu sampai waktu itu datang…”  selanya, “aku duluan ya. Aku masih ada urusan lagi..” dia merapatkan  jaketnya. “Mmm… lebih baik kau pulang saja Tara, karena sudah senja, lagian cuacanya dingin, nanti kamu bisa flu lama-lama berada disini.” Dia beranjak dari duduknya dan menyinggungkan sebuah senyuman yang manis.
            “Kalau boleh aku tahu, siapa namamu?”  tukasku.
            “Rai.”
            Sepertinya aku pernah mendengar nama itu. Tapi kapan ya?? Apa aku benar-benar pernah mendengarnya??

{{{
            Aku mengeluarkan kunci  apartement dari tas sandangku. Entah angin apa yang membuatku untuk berbalik dan memandang kamar apartement di depan kamar apartement ku. Dulunya kamar itu adalah kamar Tatsuya, tetapi semenjak kejadian itu Tatsuya pindah ke Jepang dan tidak pernah ada kabarnya lagi. Dan sekarang kamar itu seharusnya masih kosong, tetapi kenapa keadaan di dalam kamar itu terang, seperti ada orang di dalam. Aku memberanikan diri untuk mendekati pintu bernomor 207 itu, tetapi entah kenapa hatiku belum siap untuk mendekati pintu itu, karena aku takut jika yang ada di dalam itu bukan lah orang yang aku rindukan. Kalau itu benar-benar Tatsuya, aku juga tidak berani untuk menemuinya. Aku begitu kejam kepadanya. Apa aku masih pantas bertemu dengannya? Arghh… sudahlah lupakan saja.
            Setelah melemparkan tasku ke kursi, aku berjalan ke dapur mungil milikku. Aku mengambil sebotol air mineral dari dalam lemari pendingin. Setelah meneguk air dingin, rasanya pikiranku agak lebih tenang sekarang. Tapi, kenapa pikiranku terus dibayangi oleh senyuman pria misterius itu? Ah,, bukan tetapi senyuman Rai. Senyumannya sangat aku kenali. Tetapi apakah mungkin?? Ah,, bukan,, itu tidak mungkin.
            Selesai mandi dan berpakaian, aku menghempaskan tubuhku ke atas tempat tidur.
            “Huh… lega… Rasanya segar juga setelah mandi.” Kataku, sambil mengambil ponselku di atas meja. “Apa mungkin ya?? Ah… gak mungkin.” Jari-jariku mengotak-atik ponsel tanpa tahu apa yang ingin aku lihat. “Kenapa aku hanya tanya namanya saja?? Ahh… Tara… kau memang gadis bodoh…” dengusku kesal.
            Aku begitu terkejut ketika tiba-tiba ponselku berdering.
            “Elise??” lirihku — ketika melihat di layar LCD ponselku siapa yang memanggil. Aku pun menjawab panggilan Elise.
            “Allo… Kau sedang bermimpi ya?? Sadar enggak sih ini sudah jam berapa Elise…??” kata ku panjang lebar.
            “Hei… tenang Tara…” potong Elise. “Aku sadar ini sudah jam 11 malam. Dan aku tidak sedang bermimpi. Kalau aku sedang bermimpi berarti mimpiku begitu indah.” Jelas Elise.
            “Kurasa begitu… Kau memang sedang bermimpi sobat.” Lirihku.
            “Wahai Tara Arisugawa, sahabatku yang paling baik, apakah kau ingin tahu kenapa aku menelpon dirimu?”
            “Yeah…” jawabku pelan. Inilah Elise, kalau bicara tidak pernah to the point, dia selalu saja berbelit-belit, yang membuat lawan bicaranya kesal.
            “Apa kau benar-benar ingin tahu?” tanya Elise lagi.
            “Ya Elise…” gerutuku kesal.
            “Karena aku lagi bermimpi indah…” jawab Elise berbelit-belit, membuatku semakin bingung.
            “Elliseee… come on… to the point please!!!” erangku.
            “Okey… Listen… Aku setelah pulang dari tempat kerja tadi mampir ke café Victoria. And…”
            “And???” selaku.
            “Aku bertemu seorang pangeran tampan. Oh amore…I’m unbelieve… I’m sweare, he’s very handsome.” Jelas Elise.
            “So??? Bukannya semua pangeran itu tampan ya?? Hmmm… do you love him???” tanyaku penasaran.
            “Emang sih semua pangeran itu tampan tapi dia bukan pangeran beneran Tara. Lagian I don’t love him.”
            “Terus kenapa kau begitu senang sekali?”
            “Karena aku punya ide lebih baik dari pada mencintainya.”
            “Maksud nya?”
            “Aku akan memperkenalkannya kepadamu Tara. Dan mudah-mudahan saja hatimu terbuka untuknya. Sebenarnya sih kalau aku belum punya George, mungkin aku akan menjadikannya pangeranku.” Tawa Elise.
            “Jangan harap.” Tukasku.
            “Loh, kenapa Tara?”
            “Karena aku tidak bisa mencintai orang lain.”
            “Hem?? Kau memang orang yang aneh Tara…” kata Elise. “Ah sudahlah,, yang jelas aku bakalan memperkanalkannya kepadamu besok.”
            “Besok?” suaraku naik satu oktaf mendengar kata Elise.
            “Yah… jangan teriak-teriak ma cherie…Sampai ketemu besok… Bye… Nice dream…” Elise memutuskan sambungan telfonnya.
            “Eliisee…. Kau memang selalu buat masalah…” dengusku kesal.

{{{
            “Hei…” teriak Elise dari belakang yang membuatku mengelus dada.
            “Kebiasaan deh. Kalau aku pingsan gimana?” gerutuku kesal.
            “Itu sih salah kamu sendiri. Masih pagi tapi sudah melamun. Emangnya apa sih enaknya melamun itu?”
            “Emangnya makanan?” kataku sambil mendorong pelan bahu Elise.
            “Habis,, kau suka sekali melamun.”
            “Suka?” desisku.
            “Bukan suka… Tapi kegiatan rutinitasmu setiap hari.” Tegas Elise. “Jangan tertawa! Tidak ada yang lucu.” Sergah Elise ketika melihatku tertawa.
            “Kau ada-ada saja.” Tawaku.
            “Sudah ah… Oya,, mau ya yang tadi malam?” tanya Elise penuh harap.
            “Kan sudah aku tegaskan, Jangan Harap!” desahku.
            “Come on Tara,, Pleaseee… I hope you wanna to meet him.” Bujuk Elise.
            “Jangan harap Elise. Aku tidak ingin bertemu dengan siapa pun.”
            “Aku jamin deh, dia orang yang baik.”
            “Ma cherie,, aku tidak ingin bertemu dengan dia, sekalipun dia orang paling baik di dunia ini.”
            “Lihat saja,, kau pasti menyesal.” Dengus Elise.
            “Oh ya?” tawa ku pelan.
            “Jangan tertawa,, tidak ada yang lucu.” Sergah Elise.
            “Kau lucu sekali Elise.”
            “Huh…” desis Elise.

{{{
            Setelah pulang dari kampus, aku dan Elise pergi ke café Victoria. Akhirnya aku terpaksa mengikuti kemauan Elise untuk bertemu dengan pangeran yang dimaksudkannya. Kalau tidak karena Elise kesal kepadaku, aku tidak akan menuruti keinginannya.Setelah mengambil posisi meja yang cukup nyaman, Elise memesan menu makanan. Tempat yang kini aku duduki sangatlah begitu indah, aku bisa secara langsung melihat keramaian di luar sana, dan melihat keindahan sore kota Paris. Tak lama kemudian seseorang pria tampan yang memiliki senyuman manis menghampiri kami.
            “Hai Elise…” sapa pria itu lembut.
            “Hai…” balas Elise.
            “Hai Tara…” sapa pria itu kepada ku — dia duduk di hadapanku.
            Aku pun mengerjap-ngerjapkan mataku, aku tidak percaya siapa pangeran yang dimaksudkan Elise kepadaku. “Rai??” kataku bingung.
            “Senang bisa bertemu denganmu kembali Tara.” Kata Rai lembut.
            “Bagaimana bisa?” tanyaku bingung.
            “Apa kalian sudah saling mengenal?” tanya Elise.
            “Ya… bahkan sangat mengenal.” Jawab Rai tenang.
            “Oh ya??” Elise tidak percaya. “Kenapa kau tidak pernah bilang Tara, kalau kau memiliki seorang teman konseling?”
            “Konseling?”  desisku. “Kau bekerja di kedutaan ya?”
            “Ya begitulah…”
            “Jadi, kau belum tahu kalau dia konseling dari Jepang, Tara?” tanya Elise bingung.
            “Belum…” sahutku pelan.
            “Loh,, bukannya Rai bilang kalau kalian saling sangat mengenal.”
            “Hanya aku yang mengenal Tara, tapi dia tidak dapat mengenaliku Elise.” Kata Rai — matanya terus saja menatapiku tanpa celah, sehingga membuatku sedikit salah tingkah.
            Di saat makan kami terus membicarakan tentang diri Rai. Dan sekarang aku sudah tidak penasaran dengan pria ini lagi. Aku sekarang sudah tahu siapa dirinya, walaupun tidak seutuhnya. Dia seorang konseling utusan dari Jepang yang baru saja lulus dari Universitas Tokyo fakultas Hubungan Internasional. Dia merasa tertarik dengan negara Prancis ini karena tiga hal, yaitu karena ayahnya yang berasal dari Prancis,kedua dia dilahirkan dan dibesarkan di Prancis walaupun hanya sampai usia 18 tahun, dan ketiga karena dia ingin kembali kepada cinta pertamanya yang telah berhasil merebut hati dan jiwanya. Prancis menyimpan begitu banyak memori dikehidupannya. Begitu juga bagiku. Paris, kota yang sangat aku suka walaupun aku dilahirkan di Jepang. Dan Paris adalah kota yang paling banyak menyimpan duka di kehidupanku.

{{{
            Sudah  hampir sebulan aku dekat dengan Rai, tetapi aku tidak juga dapat mengetahui apa yang sebenarnya mengganjal di hatiku tentang Rai. Kenapa senyuman Rai bagaikan suatu rahasia yang sulit untuk aku pecahkan? Sepertinya aku sangat mengenali senyuman indah itu, tapi siapa? Rai… Rai… dan Rai… Akhir-akhir ini topik pembicaraanku dengan Elise hanyalah tentang Rai. Sampai-sampai Elise pernah berkata kepadaku, “Hem… dulu nolak berat,, tetapi sekarang cinta mati nih.”
            Sepertinya ada rasa yang terpendam sejak lama di hatiku dengan Rai. Tapi apa mungkin? Aku baru saja mengenalnya. Dan aku telah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak mencintai orang lain.
            Rai baru saja menjemputku dari kampus. Belakangan ini aku sering diantar dan dijemput Rai jika aku ingin ke kampus atau ke tempat lain. Hari ini Rai menjemputku di halaman kampus dengan mobil Toyota crown silvernya.
            Setelah naik ke lift aku berjalan menyusuri lorong-lorong apartement. Akhirnya aku sampai di depan pintu kamar apartementku. Saat aku ingin membuka pintu, kunci ku terjatuh. Sebelum aku mengambil kunciku, sudah ada seorang pria manis yang mengambilkannya untukku. Aku menatap wajahnya, wajah itu,,, wajah yang sangat aku rindukan. Pemilik wajah itu adalah orang yang pernah aku cintai. Dan karnanya juga aku berpisah dengan seseorang yang telah mengambil belahan jiwaku. Tatapannya tidak pernah berubah,, tatapan yang tajam tapi sangat menentramkan hati. Tak kurasakan kalau air bening mengalir di kedua pipiku.
            “Kemana saja kau?” tanyaku lirih. Air mata terus mengalir di pelipisku. Lalu dia memelukku. Di dalam pelukkannya aku terisak-isak, “Kau jahat… kau tega…”
            “Maafkan aku Tara.” Jawabnya pelan.
            “Apa hanya itu saja yang ingin kau katakan dan  jelaskan  padaku?” isakku.
            “Tidak… banyak yang ingin aku katakan dan aku jelaskan kepadamu Tara. Tapi, yang jelas saat ini yang ingin kulakukan hanyalah ingin memelukmu.” Jawabnya lembut. “Aku sangat merindukanmu Tara. Aku benar-benar tidak sanggup kehilanganmu Tara.”
            “Aku juga sangat merindukanmu. Aku sangat kehilangan dirimu.” Desisku.
{{{
            “Kau tidak berubah Tara..” gumamnya pelan sembari terus mengelus kepalaku di dalam pelukannya.
            “Mmm… semua orang bilang begitu kepadaku, Davied.” Lirihku, kini isakan ku mulai mereda.
            “Cep.. cep… sudahlah jangan nangis lagi gadis cantik.” Bujuknya lembut.
            Aku melepaskan pelukannya. “Kenapa kau pergi? Dan apa yang membuatmu kembali lagi pria bodoh?”
            Davied tertawa mendengar ucapanku.
            “Tidak lucu.” Sergahku sedikit kesal.
            “Kau memang tidak berubah. Selalu saja mengataiku dengan sebutan itu…” tawanya lembut, “huh… kau benar Tara, aku memang pria bodoh, bahkan paling bodoh di dunia ini.” Desahnya pelan.
            “Aku tahu itu… dan sekarang jelaskan kepadaku, Davied!” pintaku.
            “Sabar Tara, kau memang tidak bisa dibiarkan penasaran sedikit pun…”  katanya pelan sembari kembali mengelus kepalaku dengan lembut. “Bagaimana kalau sekarang kau buka pintu. Dan mempersilahkan aku masuk. Aku capek menunggumu dari tadi di luar.”
            “Hai… kau amnesia ya? Bukankah kamarmu di sebelah? Jadi untuk apa kau menungguku di luar.”
            “Tara Arisugawa… kalau aku menunggumu di dalam apartement ku, bagaimana bisa aku tahu jika kau sudah pulang.” Jelas Davied.
            “Benar  sih…”
{{{
            “Tara…” lirih Davied.
            “Ya?” aku menoleh ke arah Davied yang duduk di sebelahku.
            “Musim dingin sudah dekat ya…” gumamnya lembut — dia terus menatap ke langit, entah apa yang sedang dipikirkannya. “Aku merindukan tempat ini. Balkom apartement-mu tetap sama seperti dulu. Dari sini bisa lihat bintang dan kota Paris dari atas.”
            “Bukannya dari balkom apartement-mu juga bisa? Kau memang pria bodoh Davied. Kamar apartement-mu ada di sebelah kamar apartement-ku. Dan kau juga punya teropong bintang, jadi kau bisa melihatnya.” Jelasku.
            Dia beralih memandangku, mata kami beradu. Aku akui, tatapan Davied sangat lembut dan hangat. Tidak seperti tatapan mata Rai, tatapan matanya tajam tapi membuatku merasa nyaman.
            “Kau ingin terus menatapku atau ingin mulai menjelaskan semuanya?” suaraku terdengar sedikit serak.
            Dia tersenyum simpul, ya Tuhan senyuman yang begitu indah.
            “Aku ingin terus menatapmu gadis manja.” Katanya lembut.
            “Baiklah… tapi kau harus bayar jika ingin menatapku.”
            “Apa bayarannya??” desis Davied.
            “Aku ingin kau membayarnya dengan memberikan penjelasan.” Tegasku.
            “Hmmm…. Baiklah… Kau ingin aku memulai dari mana? Apa yang harus aku jelaskan?” Goda Davied.
            “Daviieeedd…” erangku kesal.
            “Okey… aku akan menjelaskan segalanya.” Kata Davied  — bibirnya menyinggungkan sebuah senyuman yang manis. “Aku pergi meninggalkan dirimu karena aku tidak ingin menyusahkan dirimu Tara.” Tatapan Davied kini hanya terfokus ke bintang di angkasa sana.
            “Lalu apa maksudmu kau akan menyusahkanku Davied?” Selaku.
            “Alasan aku meninggalkanmu karena aku tidak mau kau tahu bahwa aku mengidap penyakit kanker otak stadium akhir…” lirih Davied.
            “Apa?” kataku tidak percaya.
            “Saat itu aku bingung, apa yang harus aku lakukan. Aku tidak ingin kau akan memikirkan penyakitku, karena aku tahu saat itu kau juga masih belum seutuhnya dapat melupakan Tatsuya. Jadi,, aku mengambil keputusan untuk pergi dari Paris dan aku tinggal di London bersama keluargaku.”
            “Kau tahu kalau aku saat itu belum dapat melupakan Tatsuya seutuhnya, tapi kenapa kau juga meninggalkanku. Setelah Tatsuya pergi, kau juga pergi meninggalkanku tanpa meninggalkan pesan apa pun. Kau menghilang begitu saja. Dan itu semakin membuatku terpuruk. Setelah aku kehilangan sebagian jiwaku, aku juga harus kehilangan cintaku karena kau meninggalkanku. Kau kejam Davied.” Tukasku memotong perkataan Davied.
            “Maafkan aku Tara… maafkan aku jika aku telah membuatmu sedih. Aku tidak bermaksud begitu. Aku akui kalau aku memang salah… Apakah masih ada ruang untukku di hatimu Tara?”
            Aku bingung harus menjawab apa, aku tidak tahu apa aku masih mencintainya atau tidak. Tapi aku tidak ingin kehilangan dirinya lagi.
            “Tara…” bisik Davied pelan.
            “Semenjak kau pergi, aku tidak pernah membuka hatiku untuk siapa pun. Ntah kenapa aku tidak dapat melupakanmu.” Lirihku.
            “Bagaimana dengan Tatsuya?” tanya Davied.
            “Mungkin,, perasaan ku kepadanya masih  tetap sama seperti dulu, tidak berubah sedikitpun. Maafkan aku.”
            “Tidak apa-apa Tara… Bagaimana kalau Tatsuya juga kembali? Kau akan memilih aku atau dia?”
            “Apa aku harus menjawabnya?”
            “Tentu saja.”
            Aku akan memilih kau dan dia, karena aku tidak ingin kehilangan kalian. Oh… mungkin jawaban itu jawaban orang egois.“Mmm… Dia tidak mungkin kembali.” Desisku.
            “Kau yakin?”
            “Ya… dia tidak mungkin kembali ke sini.”
            “Dia pasti kembali kepadamu Tara.” Desah Davied panjang.
            “Bagaimana kau tahu?” kini beralih aku yang menatapnya penuh harap.
            Dia membalas tatapanku. Kenapa harus aku yang merasa nervous, padahal aku yang mulai menatapnya. “Karena kau adalah cinta sejati baginya.”
            “Cinta sejati? Hah… ada-ada saja kau.” Tawaku.
            “Dasar gadis aneh…” Davied mengelus kepalaku dengan lembut.
            “Oya, gimana dengan penyakitmu itu?”
            “Tenang saja… aku tidak pernah mengidap penyakit kanker otak. Hasil pemeriksaan di Paris salah, aku sudah check up ke London dan Jerman dan hasilnya negatif.”
            “Memang Paris kota yang menyebalkan. Gara-gara dia aku harus kehilangan dirimu.” Gerutuku sebal.
            “Sudahlah… kini kan aku sudah kembali.” Kata Davied lembut sembari menggenggam tanganku.

{{{
            Pagi ini kota Paris sungguh indah. Aku menghirup dalam-dalam udara pagi yang masih segar dari atas balkom kamarku.
            “Pagi Tara…” sapa Davied dari balkom kamar nya.
            Aku menoleh dan membalas senyumannya, “pagi juga pria bodoh.”
            “Kenapa sih dari dulu kau suka sekali memanggilku dengan sebutan pria bodoh?” tanya Davied penasaran.
            “Karena kau memang pria yang bodoh.”
            “Why?”
            “Mmm… karena kau tertipu oleh dokter Paris. Dan kau bodoh karena telah meninggalkanku.”
            “Hmm… masuk akal sih. Semakin pintar saja si gadis manja.”
            “Kau juga kenapa suka memanggilku dengan sebutan gadis manja? Padahal aku kan tidak manja.”
            “Karena aku suka dengan gadis yang manja. Aku tahu kau tidak manja, tetapi agar kau kelihatan manja jadinya aku memanggilmu gadis manja.”
            “Huuhhh… aku benci panggilan itu.” Gerutuku.
            “Ayolah… biarkan aku memanggilmu gadis manja!! Aku sudah terbiasa memanggilmu dengan sebutan itu.” Bujuk Davied.
            “Tidak…”
            “Ayolah Tara…” melas Davied.
            “Baiklah…” akhirnya aku luluh dengan bujukan Davied. Sesungguhnya aku benar-benar benci dengan sebutan gadis manja.
            “Hari ini kau tidak ke kampus gadis manja?”
            “Ke kampus. Kenapa?” tanyaku kesal.
            “Jam berapa?”
            “Jam delapan.”
            “Pulang jam berapa?”
            “Makan siang. Kenapa sih?”
            “Baiklah… aku akan mengantar dan menjemputmu hari ini. Aku bingung ingin kemana hari ini.”
            “Terima kasih.”

{{{
            Saat aku membuka pintu mobil Davied, Rai pun muncul dan keluar dari dalam mobilnya sehingga membuatku tidak jadi masuk ke dalam mobilnya Davied. Entah kenapa ada perasaan shock di antara Davied dan Rai. Ada apa dengan mereka? Kenapa mereka merasa seperti saling tidak percaya.
            “Hai Rai…” sapa ku memecah kesunyian diantara kami bertiga.
            “Hai Tara.” Balas Rai gugup.
            “Oya Davied, perkenalkan ini Rai teman baruku, dia seorang konseling negara Jepang.” Kataku kepada Davied. “Rai… ini Davied, teman lamaku, baru tadi malam dia kembali dari London.” Kataku kepada Rai.
            Rai dan Davied merasa saling tidak percaya dengan apa yang aku katakan. Mereka saling tukar pandang yang membuatku tidak mengerti. “Kenapa kalian diam saja?” tanyaku bingung.
            Rai pun akhirnya mengulurkan tangannya, “hai aku Rai.”
            Davied pun membalas uluran tangan Rai, “hai,, Davied.” Jawab Davied bingung.
            “Oya Rai, maaf hari ini aku tidak bisa pergi bersamamu. Hari ini aku ingin bersama Davied. Kau tidak keberatankan?” tanyaku lembut.
            “Oh tidak… Lagian kan kau sudah lama tidak bersamanya. Selamat bersenang-senang ya.” Rai pun berlalu meninggalkan kami berdua.
            “Aku merasa aneh dengan sikap Rai dan sikapmu Davied.” Kataku bingung.
            “Aku tidak mengerti.” Kata Davied.
            “Sudahlah, ayo.”

{{{
            “Kenapa dia lama sekali?” benakku. Sudah hampir 15 menit aku berdiri di halaman univesitas tetapi Davied tidak juga muncul.
            “Hei… kenapa sih kok gelisah? Rai belum jemput ya?” tanya Elise yang muncul dari belakangku.
            Bukan Rai tetapi Davied, Elise. “Dia belum menjemputku.”
            Ponselku berderit, sebuah pesan masuk. Aku membukanya.
Hey,, Gadis manja… Maafkan pria bodoh ini ya…
Aku tidak dapat menjemputmu…
Aku ada urusan mendadak…
Maafkan aku. Aku janji akan membalasnya.

Love You
_Davied_

            “Dia tidak bisa menjemputku.” Lirihku.
            “Ayo…” kata Elise sambil menarik tanganku.
            “Kita mau kemana?” tanyaku bingung.
            “Sudah tenang saja. Aku lapar, kita ke café Victoria.” Jelas Elise.
            Karena tidak tahu ingin kemana, akhirnya aku mau saja naik ke mobil Elise dan ikut bersamanya.
            Sampai di café Victoria, aku dan Elise mengambil tempat duduk di tempat biasa. Dua pria tampan dan jangkung masuk ke dalam café. Aku mengenali ke dua pria itu. Mereka, Davied dan Rai. Kenapa mereka di sini? Kenapa mereka bisa datang secara bersamaan?
            Mereka duduk di belakang kami, dibilik sebelah. Setelah memesan, mereka memulai pembicaraan berdua, sepertinya pembicaraan yang serius.
            “Kenapa kau kembali kemari?” terdengar suara Davied berbicara.
            “Aku rasa kau tahu apa jawabanku Dev.” Jawab Rai.
            “Yeah… aku rasa. Dan ada apa dengan kau dan Tara? Kenapa Tara seperti tidak mengenalimu? Dan kenapa Tara memanggilmu dengan sebutan Rai bukan Tatsuya?”
            Tatsuya?? Rai adalah Tatsuya? Apa maksudnya? Pikirku.
            “Dia sudah lupa kepadaku. Malang sekali nasibku, dilupakan oleh orang yang aku cintai. Kau masih ingat, aku meninggalkan kalian, di saat itu Tara masih buta. Mana mungkin Tara mengingat wajahku yang berubah.”  Jelas Rai.
            “Oh ya, aku ingat saat itu Tara masih buta. Tapi kenapa dia bisa lupa, sedangkan aku saja masih sangat mengenali dirimu. Padahal kau cinta pertamanya.” Kata Davied.
            “Itu karena aku berusaha untuk melupakannya, agar aku tidak bisa mengingat orang yang aku sayangi telah pergi  menjauh dariku karena diriku sendiri. Aku tidak ingin terus bersedih karena mengingat wajahnya dihadapan orang yang mencintaiku. Aku memang berusaha melupakannya. Dan usaha aku berhasilkan? Aku memang benar-benar lupa kepadamu kak.” Kataku — air bening mengalir dari kedua sudut  mataku.
            Elise bingung denganku yang menangis tiba-tiba dan dengan peerkataanku yang tidak dapat dimengertinya.
            “Tara… kau kenapa? Apa maksudmu?” tanya Elise gusar.
            “Maafkan aku Elise.” Kataku pelan sembari berdiri dan berlari meninggalkannya.
            “Tara…” panggil Elise, membuat seisi café melihat ke arahku yang berlari, termasuk Rai dan Davied.
            “Tara?” desis Rai dan Davied bersamaan.
            Rai melihat ke arah  suara yang memanggil Tara,“Elise?” tanya Rai.
            “Rai?”  kata  Elise tidak percaya  jika ada Rai di café itu juga.

{{{
            Aku duduk di bawah pohon Mahoni biasa tempat aku beristirahat di saat jam kelas kosong. Kampus sudah sepi, hari ini hari Minggu, tidak semua mahasiswa datang ke kampus. Taman belakang universitas sudah tidak ada pengunjungnya lagi selain diriku.
            “Ada apa dengan semua ini? Apa yang terjadi?” gumamku.
            Aku bersandar di bawah pohon Mahoni dan memandangi langit. Semilir angin lembut yang menerpa tubuhku membuatku kembali ke masa lalu ku. Di mana aku, Davied dan Tatsuya adalah tetangga sejak kecil. Davied dan Tatsuya adalah teman masa kecilku. Mereka bukan hanya sekedar teman bagiku tetapi aku anggap sebagai saudara. Tatsuya bagaikan kakak untukku berhubung umur dia lebih tua dari aku dan Davied. Tatsuya orang yang baik, lembut dan bijaksana. Sedangkan Davied orang yang selalu perhatian, selalu menolong ku di saat sekolah atau pun di rumah, jika tidak ada Tatsuya. Davied orang yang sangat terbuka dan lucu, sedangkan Tatsuya orang yang sangat dingin, dia bagaikan pangeran es. Dari aku kecil aku sangat menyukai Tatsuya walaupun terkadang Tatsuya hanya menganggapku sebagai adiknya. Tapi aku tidak menyerah untuk menyukainya karena selalu ada Davied yang mensuportku untuk terus menyukai Tatsuya, padahal Davied juga sangat menyukaiku. Walaupun Tatsuya hanya menganggapku sebagai seorang adik, dia terkadang sering meminta kepadaku, jika kami sudah dewasa nanti aku mau menikah dengannya. Huuhh… aku merindukan saat-saat itu. Di saat Tatsuya bilang ingin menjadikanku sebagai istrinya. Di saat Tatsuya mengajakku ke Ice Skate dahulu. Dan di saat dia selalu menganggapku sebagai gadis kecil yang tidak pernah dewasa.Masa lalu yang sangat indah, tetapi karena suatu musibah yang menimpa diriku membuatku benci untuk mengingat masa lalu ku. Saat itu umurku 13 tahun dan Tatsuya berumur 16 tahun, aku kecelakaan sehingga membuat kedua mataku buta, walaupun bukan buta permanent. Untuk menyembuhkan mataku, aku harus menunggu waktu yang lama, setidaknya dalam waktu 3 tahun. Tetapi mataku sembuh hanya dalam waktu 2 tahun, dan di saat mataku sudah sembuh aku sudah tidak dapat melihat orang yang aku cintai. Dia sudah pergi karena keinginanku sendiri. Selama aku sakit yang ada disampingku hanyalah Davied. Karena kebaikan hatinya yang setia kepadaku dan selalu menjagaku, hal itulah yang membuat aku akhirnya dapat mencintainya dan berusaha untuk melupakan Tatsuya untuk selamanya.
            Sebulir salju jatuh lembut di pipiku sehingga membuatku tersadar dari bayangan masa laluku. Kupandangi langit, hari sudah mau senja. Musim sudah mulai berganti. Tetapi kenapa perasaanku tidak juga berganti? Kenapa hanya aku saja yang terus-terusan begini? Perasaan yang tidak pernah jelas. Egois kah aku jika aku menginginkan masa laluku itu kembali lagi? Aku ingin kembali ke masa lalu yang indah  itu walaupun pada akhirnya aku harus berusaha untuk melupakan dirinya.
            “Sudah aku duga, pasti kau disini gadis kecil.” Kata seorang pria tampan mendekatiku, dan duduk di sebelahku. “Maafkan aku Tara.”
            “Kenapa kakak harus minta maaf?” tanyaku pelan.
            “Karena aku tidak benar-benar yakin pada hatiku. Dan karena aku tidak dapat membaca apa yang kau pikirkan saat itu, yang aku lakukan hanya mendengar ucapanmu.” Desahnya lembut.
            Aku tertawa kecil mendengar ucapannya. Sesungguhnya tawa itu tawa yang sangat menyedihkan. “Kakak tidak salah, yang salah itu aku. Karena aku tidak yakin bahwa kakak  cinta kepadaku.” Desisku pelan.
            Dia menyenderkan kepalaku di bahunya. “Ini semua salah Karin. Karena dia menghasutmu dan memaksamu untuk meninggalkanku.”  tangannya terus mengelus lembut kepalaku.
            “Karin?” tanyaku kaget.
            “Sudahlah Tara. Aku sudah tahu semuanya. Karinlah penyebab semua ini. Karin sendiri yang bilang kepadaku bahwa dia telah memintamu untuk meninggalkanku karena dirimu tidak pantas untukku, karena saat itu kau buta.”
            “Kenapa Karin cerita kepada kakak?” tanyaku heran.
            “Karena setelah pindah dari Paris, aku tidak pernah mau bicara kepada siapapun, semua orang yang aku temui dan mengajakku bicara selalu aku panggil dengan namamu, termasuk Karin. Karena Karin tahu bahwa aku tidak dapat mencintainya, dan yang aku cintai hanya dirimu, akhirnya dia cerita yang sebenarnya kepadaku. Dia juga minta maaf kepadamu karena dia telah memaksamu untuk melupakanku. Apa kau mau mememaafkannya?”
            “Tentu saja aku memaafkannya.” Kataku lembut.
            “Apa kau ingat kejadian 5 tahun yang lalu, di saat kau memaksaku untuk pergi ke Jepang demi study ku?” tanya Tatsuya lembut — tatapan matanya sangat membuatku nyaman.
            “Yeah…” desisku.

{{{
            Tatsuya dan aku mengingat masa 5 tahun yang lalu.
            “Pergilah ke Jepang bersama kedua orang tua kakak.” kataku.
            “ Aku tidak ingin pergi kemanapun termasuk Jepang.” Bantah Tatsuya.
            “Ayolah kak, ini juga demi study kakak dan keinginan orang tua kakak.” bujukku.
            “Aku tidak ingin meninggalkanmu Tara. Bagaimana nanti jika tidak ada aku di sini? Siapa yang akan menjagamu?”
            “Kakak tenang saja, masih ada Davied yang akan menjagaku.”
            “Kenapa sih harus Davied, selalu saja Davied?” tanya Tatsuya kesal.
            “Karena…”
            “Karena apa?”
            “Karena…. Aku mencintainya.” Desahku panjang. Maafkan aku jika aku harus berbohong kepada kakak. Aku melakukan ini demi kakak.
            “Bagaimana dengan aku Tara?” desis Tatsuya.
            “Maafkan aku.” Kedua sudut mataku mengalir lembut air bening.
            “Jadi,,, sekarang apa yang harus aku lakukan?”
            “Kakak harus meninggalkan Paris dan pergi ke Tokyo. Juga…”
            “Juga apa?”
            “Menikahlah dengan Karin.”
            “Tara…” Tatsuya memegang kedua bahuku. “Kalau aku harus ke Tokyo, aku bisa melakukannya. Tapi jika untuk menikah dengan Karin, aku tidak bisa melakukannya…” katanya lembut tetapi tegas. “Kau sudah janji kepadaku bahwa kau hanya akan menikah denganku.”
            “Tapi…” keluhku, kini air mataku semakin deras. Aku tidak sanggup untuk menahan gejolak yang ada di dalam hatiku. Aku bingung apa yang harus aku lakukan.
            “Tara… sampai kapanpun aku tidak bisa mencintai orang lain. Karena kau cinta pertama dan terakhirku. Kau yang selalu membuatku berarti. Kau yang selalu membuatku merasa tenang. Hanya dirimu yang dapat menentramkan jiwaku. Aku tidak bisa hidup tanpamu. Kau adalah cinta dan belahan jiwaku. Separuh jiwaku ada bersamamu. Dan aku harap kau juga menganggapku sebagaimana aku mengganggapmu.” Tatsuya menarik tubuhku kedalam pelukannya. Walaupun saat itu aku tidak dapat melihat wajahnya, tapi aku merasakan bahwa yang dikatakannya itu benar-benar tulus dari hatinya. Di dalam pelukannya aku merasa ada buliran air yang membasahi rambutku. Pasti Tatsuya menangis.
            Aku melepas pelukan Tatsuya. “Maafkan aku.” Itulah kata terakhir yang aku ucapkan kepadanya sebelum dia pergi meninggalkanku.

{{{
            Hari semakin senja, salju pun semakin banyak berjatuhan membasahi tubuhku dan Tatsuya.
            “Ayo.. aku antar kau pulang Tara!” kata Tatsuya membuyarkan lamunan masa lalu kami.
            Di dalam mobil menuju apartemenku, aku dan Tatsuya hanya diam membisu satu sama lain. Jujur, aku sangat menyukai sikap Tatsuya yang tenang dan dingin. Walaupun dia sedang berfikir keras tetapi sinar matanya tetap tenang dan senyuman manis selalu terukir di bibirnya yang sempurna.
            “Jangan menatapku begitu gadis kecil.” Kata Tatsuya lemah, pandangan matanya masih terfokus ke depan, senyuman manis masih  terukir di bibirnya.
            Aku mengalihkan pandanganku ke luar jendela, menatapi sisi jalan yang sudah agak gelap.
            “Rai.” Gumamku pelan .
            “Kau masih belum ingat ya? Kenapa kau melupakanku Tara? Bagaimana bisa kau dapat melupakan orang yang kau cintai?” tanya Tatsuya.
            “Rai  Tatsuya Dunport. Hanya kak Stepheny yang memanggil kakak dengan sebutan Rai. Menurut dia Rai lebih baik dibandingkan Tatsuya yang terlalu menampakkan nama orang Jepangnya.”
            “Ya… hanya kakak ku yang memanggilku dengan sebutan Rai.” Tatsuya menatapku sekilas. “Kenapa kau melupakanku Tara?”
            “Apa aku harus menjawabnya?” bisikku.
            “Tentu.”
            Ku tatap mata Tatsuya tajam-tajam, matanya yang sipit dan berwarna kelabu memancarkan khas ketenangan di dirinya. “Agar aku tidak bisa mengingat orang yang aku sayangi telah pergi  menjauh dariku karena keinginan ku sendiri. Karena aku tidak ingin terus bersedih kalau mengingat wajah kakak jika aku ada disisi orang yang mencintaiku. Aku memang berusaha untuk melupakan kakak. Ternyata usahaku tidak sia-sia. Aku dapat melupakan kakak dengan mudahnya.” Kataku tenang.
            Tatsuya tertawa kecil setelah mendengar jawabanku.
            “Kenapa tertawa?”
            Ujung bibir Tatsuya menyinggungkan sebuah senyuman indah. “Karena kau tidak benar bisa melupakan diriku Tara.”
            “Maksud kakak apa?” tanyaku bingung.
            “Jika kau benar lupa padaku, kau tidak mungkin masih menyimpan rasa cintamu itu kepadaku. Kau mungkin sudah membuka hatimu untuk pria lain.” Ujar Tatsuya.
            Mobil Tatsuya berhenti di halaman apartement. Kami berdua turun dan menaiki lift menuju kamar apartemenku.
            Saat kami tiba di kamar apartementmu, Davied berjalan  gelisah  di depan kamar apartementku, sembari memegang ponsel ditangannya.
            “Davied…” sapaku.
            Davied menoleh ke arahku. Dan berjalan cepat kearah ku. “Tara,, kau membuatku cemas.” Davied memelukku erat.
            Aku melirik ke arah Tatsuya. Tatsuya pura-pura tidak melihat Davied memelukku. Entah kenapa aku merasa bersalah kepada Tatsuya dan Davied. “Maafkan aku Dev… Maafkan aku telah membuatmu cemas.” Aku berusaha melepaskan pelukan Davied.
            “Aku mencarimu ke taman kota dan universitasmu tetapi aku tidak dapat menemukanmu. Aku mencoba menghubungi ponselmu tetapi ponselmu mati.” Ujar Davied cemas.
            “Davied… tenanglah,, aku tidak apa-apa, I’m fine. Jangan cemas.” Kataku menenangkan Davied. Yeah… aku akui, Davied sangat berbeda dengan Tatsuya, Davied orang yang sangat perhatian, cemas dan cerewet.

{{{
            Aku mempersilahkan Tatsuya dan Davied duduk, dan meninggalkan mereka berdua di ruang tamu. Setelah aku kembali lagi ke ruang tamu, Tatsuya sudah tidak ada.
            “Kemana kak Tatsuya?” tanyaku kepada Davied.
            “Katanya dia ada urusan penting di kantor kedutaannya. Jadi dia pamit pergi.” Jawab Davied lembut.
            Davied mengelus kepalaku dengan lembut karena melihatku sedikit khawatir, “sudah tenanglah, dia bakalan kembali.” Sambung Davied dingin. Davied menarikku ke dalam pelukannya. Baru kali ini aku mendengar ucapan Davied begitu dingin, tidak seperti biasanya.

{{{
            Pagi ini cuaca sangat dingin, salju terus turun sejak semalam. Rasanya waktu begitu cepat berlalu. Aku melihat ke balkon apartement Davied, tirai pintu kaca kamarnya masih tertutup. Apa Davied belum bangun ya? Mana mungkin, hari ini hari senin, dari dulu Davied sangat menyukai awal pekan, pastinya dia bangun lebih awal.
            “Apa Tatsuya sudah pulang? Lebih baik aku datang saja ke kamarnya untuk memastikan.”
            Berkali-kali aku mengetuk pintu kamar Tatsuya tetapi tidak ada yang menyahut dan membuka pintu.
            Apa Tatsuya belum pulang? Atau dia sudah berangkat lagi ke kantornya? Pikirku.
            Aku berjalan ke kamar apartement Davied. Hasilnya sama saja, berkali-kali aku memanggilnya tetapi tidak ada yang menyahut.
            “Kemana mereka?”
            Tiba-tiba ponsel ku berderit. Sebuah pesan masuk.
Pagi Tara
Aku menunggumu di basement kampus
Hari ini tugas akhir semester harus di serahkan
Kalau tidak kau tidak akan mendapatkan liburan musim dingin
Jangan sampai dosen killer itu menghukummu lagi

_Elise_

            “Kenapa aku bisa lupa kalau hari ini harus diserahkan. Haah… gawat.” Lirihku. “Bukannya pagi ini Elise kerja?”
            Aku parkirkan mobilku di basement  kampus. Sudah banyak mobil yang tersusun rapi pagi ini. Hari ini memang awal pekan liburan semester musim dingin. Jika sudah musim dingin banyak orang di kota Paris tidak ingin keluar dari rumah, sebab karena hawa diluar bisa membuatmu mati kedinginan.
            “Hey…” sapa Elise. Aku menoleh ke arahnya. “Tumben nih bawa mobil sendiri. Biasanya diantar Rai.”
            “Tatsuya sedang sibuk, jadi aku terpaksa bawa mobil sendiri.”
            “Siapa itu Tatsuya?” tanya Elise bingung.
            “Rai.”
            “Maksud kamu?” Elise semakin bingung.
            “Aduh.. gimana ya menceritakannya kepadamu. Susah untuk dijelaskan.”
            “Sudah lah… aku jadi semakin bingung… Ayo.” Sergah Elise
            Aku dan Elise berjalan meninggalkan halaman basement kampus.
            “Hari ini kau tidak masuk kerja Elise?”
            “Sebenarnya masuk, cuma gara-gara tugasnya harus diserahkan, jadinya hari ini aku cuti.” Jelas Elise.
* * *
            “Ada apa denganmu Tara?” tanya Elise sembari meneguk minuman lemonnya. Setelah menyerahkan tugas dan memperbaikinya di perpustakaan universitas, sore ini aku dan Elise mampir ke café Victoria.
            “Tidak ada.” Jawabku singkat.
            “Ayolah Tara,, cerita saja kepadaku. Sejak di kampus tadi kau kelihatan murung.” Bujuk Elise.
            “Mungkin karena aku lelah saja, lagian sore ini cuacanya sangat dingin.”
            “Bukan alasan.” Delik Elise.
            “Sudahlah, percuma saja kau pelototi aku begitu. Aku tidak apa-apa.” Tawaku.
            “Dasar gadis misterius.” Ralat Elise.
            “Jangan cemberut gitu! Sudah makan saja tu makananmu!” godaku.
            Ponselku berdering. Davied memanggil.
            “Allo…”
            “Hai gadis manja… aku menunggumu sore ini di pantai biasa kita melihat hari senja.” Sela Davied.
            “Kenapa disana? Dan kau kemana saja satu hari ini? Aku lelah menghubungimu tapi tidak kau jawab.” Kataku panjang lebar.
            “Sudahlah nanti saja aku jelaskan. Kau harus datang. Bye…” Davied menutup teleponnya.
            “Dasar bodoh…” desisku kesal.
            “Siapa yang bodoh?” tanya Elise penasaran. “Dan siapa yang menelfon?”
            “Bukan siapa-siapa.” Jawabku pelan.
            “Kenapa kau buru-buru Tara?” tanya Elise penasaran melihatku membenahkan isi tasku. “Ada hal penting?”
            “Maaf Elise aku duluan ya, sepertinya memang ada hal yang penting.” Jawabku lembut. “Bye… sampai ketemu besok.” Aku berlalu meninggalkan Elise di café dan meluncurkan mobilku ke arah timur menuju pantai.
            Setelah memarkirkan mobil, aku berjalan menyusuri bibir pantai, sembari menunggu Davied datang aku duduk di atas pasir putih yang berkilauan. Aku merapatkan jaketku, hari ini sungguh dingin. Kulirik jam di tanganku, baru 5 menit aku menunggu tetapi rasanya seperti sudah beberapa jam. Kenapa perasaanku tidak enak. Jantungku berdetak tidak normal. Apa yang akan terjadi? Kemana Davied?
            “Tara…” kata seorang pria disebelahku. Aku menoleh ke arah suara itu.
            “Kakak…” kataku terkejut. Tatsuya duduk di sampingku.
            Kenapa Tatsuya? Dimana Davied?
            “Kenapa kakak ada disini?” tanyaku.
            “Kau sendiri sedang apa di sini?” balas Tatsuya bertanya.
            “Aku… aku sedang menunggu Davied… Tadi dia menelfon menyuruhku untuk datang kemari.” desisku.
            “Owh… Tadi, Davied juga menelfonku, dia minta tolong kepadaku.”
            “Apa itu?” tanyaku, kuberanikan untuk menatap Tatsuya. Baru kali ini tatapan Tatsuya hangat, biasanya tatapannya begitu dingin seperti cuaca sekarang ini.
            “Dia minta tolong jagakan sesuatu yang sangat berharga baginya. Dan bahagiakan dia sampai akhir hayatku.”
            “Hemph… lalu apa yang berharga itu?”
            “Kau Tara…” lirih Tatsuya.
            “Jangan bercanda. Oya kenapa Davied belum datang juga?”
            “Dia tidak akan datang, Tara.” Kini pandangan Tatsuya beralih ke langit yang sudah mulai senja.
            “Apa maksud kakak?” tanyaku bingung.
            Tiba-tiba ponselku berderit. Ku ambil ponsel dari dalam kantong jaketku. Sebuah pesan.
Gadis manja, maafkan aku, aku tidak dapat menepati janji
Aku tidak bisa datang
Walaupun aku tidak datang, tetapi sudah ada orang yang lebih baik untuk menemanimu
Aku akan kembali ke London
Mmm… Aku memang pria bodoh,
karena aku telah mencintai orang yang tidak benar-benar mencintaiku
Aku sangat bodoh,
telah membuat gadis yang sangat kucintai terus bersedih
Aku memang bodoh,
terus memaksamu untuk mencintaiku
Maafkan aku Tara
Bye…

_Davied_

            Air bening mengalir dari kedua pelipis mataku. Aku merasa bersalah kepada Davied. Perasaanku seperti dicabik-cabik, begitu sakit hatiku membaca pesan dari Davied.
            “Kenapa kakak tidak bilang dari tadi kalau Davied kembali ke London?” tanyaku, suaraku terdengar serak.
            “Maafkan aku Tara… Davied melarangku untuk memberitahumu.” Jawab Tatsuya lemah.
            “Ini dari Davied.” Tatsuya memberikan sebuah amplop dari saku jasnya.
            Aku membuka amplop dari Davied, isinya surat. Sambil menangis aku membaca isi surat dari Davied.

                                                                                                    Paris,
To  : My Love
        Tara Arisugawa

        Hey Gadis Manja…
        Maafkan aku tidak bisa bicara langsung kepadamu. Melalui surat ini aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu. Sesuatu yang menyangkut hidup dan matiku, kau dan Tatsuya.
        Tara… aku tahu kalau kau sangat mencintai Tatsuya. Kemarin kau berusaha melepaskan pelukanku di saat aku memelukku dihadapan Tatsuya. Itu sangat membuktikan bahwa kau tidak ingin Tatsuya kecewa kepadamu. Tara… sejak kecil kau sudah mencintainya. Yang ada dipikiranmu hanyalah Tatsuya, bukan aku. Padahal aku berharap yang ada di pikiranmu itu hanya aku, bukan dia. Di hatimu sudah terpatri kuat nama dia.
        Tara… Tatsuya juga sangat mencintaimu, lebih dari cintaku kepadamu. Dia juga lebih mengenalmu dibandingkan aku. Dia tahu apa yang kau lakukan, dia dapat membaca pikiranmu, dia tahu kau berada dimana. Dia lebih tahu bagaimana sifatmu. Kau ingat, saat umur kita 6 tahun dulu, kita masing-masing menyebutkan cita-cita kita jika sudah dewasa nanti ingin menjadi apa. Saat itu aku bilang aku ingin menjadi dokter hebat, begitu juga dengan Tatsuya. Dia sangat tertarik dengan pekerjaan sebagai dokter. Sampai-sampai dia rela belajar mati-matian demi bisa selalu mendapatkan nilai terbaik di sekolahnya. Dan saat itu kau bilang cita-citamu hanya satu, yaitu ingin menjadi istrinya Tatsuya. Bagiku dan Tatsuya saat itu, cita-citamu sangatlah aneh. Tapi sebenarnya di dalam hatiku, aku ingin sekali nama Tatsuya itu berubah menjadi namaku. Dan kau tahu, keesokan harinya Tatsuya berkata kepadaku bahwa kau gadis kecil yang konyol. Tetapi, saat aku bertanya apa dia mau menjadikanmu istrinya, dia menjawab “jika sudah dewasa nanti Tara memang masih ingin menjadi istriku, akan aku menjadikannya sebagai istriku”.
        Tara… saat Tatsuya bilang itu kepadaku, sungguh seumur hidupku aku tidak dapat melupakan perkataannya. Segala cara yang aku lakukan untuk membuatmu cinta kepadaku semuanya sia-sia. Di hatimu cuma ada Tatsuya dan Tatsuya, tidak ada lagi ruang di hatimu untukku. Walaupun kau pernah bilang kalau kau cinta kepadaku, sebenarnya kau tidak cinta kepadaku. Saat kau bilang kau tidak bisa melupakanku, itu memang benar tetapi kau hanya menganggapku sebagai sahabatmu dari kecil bukan sebagai cintamu.
        Tara… kau tahu kenapa Tatsuya tidak jadi menjadi dokter, dan dia menjadi seorang konseling? Dan kenapa dia berpindah kewarganegaraan? Itu karena dia cinta kepadamu. Agar dia bisa kembali kepadamu. Kau adalah belahan jiwanya. Dia tidak dapat hidup tanpamu. Walaupun dia tidak pernah bersikap perhatian terhadapmu, tetapi sesungguhnya kau adalah segalanya bagi dia, kau hidup mati bagi dirinya. Demi cintanya kepadamu, dia rela membuang segala angan dan cita-citanya sejak kecil.
        Tara… aku merelakanmu bukan karena aku tidak mencintaimu atau aku mengalah kepada Tatsuya. Tetapi karena aku sudah janji kepadamu untuk membayar hutangku karena telah menatapmu. Dan melunasi janjiku yang kuingkari saat aku tidak jadi menjemputmu.
        Tara… sampai kapanpun kau tetap menjadi cinta sejatiku. Tidak ada yang dapat menggantikanmu di hidupku. Aku akan melanjutkan study ku di London. Setelah menjadi dokter yang hebat aku akan kembali ke Paris, mungkin saat itu kau sudah menikah dengan Tatsuya.
        Tara… cintailah Tatsuya sepenuh hati. Begitu besar pengorbanannya untukmu. Mungkin hal itu juga menjadi salah satu alasan kenapa aku merelakanmu untuknya.
        Haahh… sudahlah. Aku tidak ingin terlalu larut dalam kesedihan. Aku ingin kau selalu tersenyum Tara, seperti dulu. Aku lebih menyukai Tara yang cerewet dari pada Tara yang pendiam. Dan satu lagi… jangan menangis lagi! Karena aku tidak dapat menghapus air mata di pipimu. Aku tidak ingin Tatsuya melihatmu menangis karena diriku.
        Mungkin sampai disini dulu surat dariku, aku harus bergegas. Hari ini aku harus terbang ke London. Selamat tinggal Paris… Selamat tinggal kenangan… Selamat tinggal Tara… Semoga kau hidup bahagia bersama Tatsuya… I Love You Forever.

                                                         Sahabat baikmu,
                                                              _Davied_

            Air mataku semakin deras, aku semakin terisak. Tatsuya menghapus air mata di pipiku. Dan merebahkan kepalaku dipundaknya. “Aku janji, aku tidak akan pernah meninggalkannya Davied. Aku janji akan terus menjaganya seumur hidupku. Terima kasih telah merelakannya untukku.” Gumam Tatsuya sembari terus mengelus kepalaku dengan lembut.
            Salju mulai turun dari langit, matahari semakin condong, hari sudah senja, angin pun semakin dingin. Mungkin hari ini aku merasa bahagia karena aku akan terus bersama Tatsuya selamanya. Tetapi aku juga sedih, jika berpisah dengan Davied.
            “Davied… cinta tidak harus memiliki, tetapi cinta itu adalah anugerah terindah dari Tuhan. Walaupun aku tidak dapat mencintaimu sebagai kekasih hatiku, tetapi aku mencintaimu sebagai sahabat terbaikku.” Lirihku dalam hati.

_ The End _


By: Syafriza Ulfa (syafrizaulfa@yahoo.com)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar