© Cinta Tiada Akhir ©
“Jika
aku dapat mengulangnya kembali,, aku pasti memilih dirinya bukan dia.” Desahku.
“Apa
yang ingin kamu ulang kembali Tara ?” tanya Elise
yang membuatku tersadar dari lamunan masa laluku. Elise adalah teman sekelasku
di fakultas psikologi.
“Kamu
bertanya kepadaku Elise?” tanyaku.
“Tidak…
aku bertanya kepada Arisugawa…” jawab Elise kesal. “Emangnya siapa lagi mahasiswi
di ruang kelas ini yang sering melamun selain kamu Tara ?”
“Oh…
maaf…” kataku nyengir. “Aku… aku ingin mengulang waktu kembali.” Desisku.
“Oh…
siapa yang kau maksudkan dia dan dirinya?”
“Bukan
siapa-siapa.” Lirihku pelan.
“Kamu
memang gadis yang sangat misterius Tara .”
Elise
menatapku dalam-dalam, kemudian tersenyum yang membuatku semakin tidak mengerti
apa maksudnya, “Seisi kampus selalu menyebutmu gadis cantik yang penuh dengan
kemisteriusan. Kau memiliki rahasia yang membuat kami semua penasaran, karena
kau juga ahli dalam hal menyimpan rahasiamu. Bahkan,, diriku saja yang teman
dekatmu tidak dapat memahami dirimu. Kau orang yang sangat membingungkan.”
Aku,,
orang yang sangat membingungkan?? Huuh… pantas saja mereka tidak dapat
memahamiku. Bahkan dia juga.
“Begitu
ya?” tawaku.
“Ya
begitulah…” senyum Elise, lalu Elise beranjak meninggalkan mejaku.
* * *
Di
saat jam kelas kosong berhubung dosen tidak datang, aku berjalan-jalan di taman
belakang universitas. Aku duduk di rumput-rumputan dan bersandar di bawah pohon
Mahoni. Saat ini di Paris
sedang musim panas, tidak ada daun yang hijau lagi. Jika ada pun, hanya
beberapa di antaranya saja.
Aku
memandangi langit yang begitu biru dan berawan, tetapi cuaca hari ini sangat
panas, untung saja masih ada angin yang bersahabat, menyapa tubuh ini yang
kepanasan. Angin ini begitu sangat menyejukkan dan sedikit meringankan penat
dan beban pikiranku.
Karena
aku sangat menikmati kebaikan sang angin, aku tidak menyadari kalau ada
seseorang yang menghampiriku.
“Apa
yang kau lakukan di sini??” tanya pria manis di sampingku — dia pun berbaring
di rerumputan sambil memejamkan kedua matanya. Mungkin dia juga menikmati angin
yang sangat bersahabat di kala cuaca panas seperti ini. Dia terlihat begitu
tampan dengan posisi tubuh yang berbaring di atas rumput hijau sambil menutup
kedua matanya, di tambah lagi, hembusan angin yang membuat rambutnya
bergerak-gerak pelan.
Tanpa
sadar, aku terus menatapinya, entah apa yang menarik dari dirinya, sehingga aku
menatapinya. Aku merasa dirinya mirip dengan dia. Tapi aku tidak tahu, apa yang
membuat mereka mirip. Aku penasaran, bahkan sangat penasaran.
“Kenapa??”
katanya pelan. Aku memalingkan wajahku. Aku mengira kalau dia tidak tahu aku
sedang memperhatikannya, padahal matanya masih tetap terpejam. Aku sangka dia
tadi benar-benar tertidur.
“Kau
sedang berpikir apa??” katanya lagi — matanya masih tetap terpejam. “Kau
memikirkan dia..?” kini matanya terbuka dan memandangi langit, “… atau dia??”
dia berpaling menatapku, kini pertanyaannya semakin mendalam sama seperti
tatapan matanya.
“Maksud
kamu?” tanyaku bingung. Dia tersenyum — senyumnya begitu lembut sama seperti
dirinya. Aku heran melihat dirinya yang begitu aneh. Pertama, dia datang
menghampirku seperti sudah mengenaliku. Kedua, dia tahu apa yang sedang
kupikirkan. Ketiga, dia menatapku dengan penuh isyarat. Dan keempat, kini dia
tersenyum melihatku. Ada
apa sebenarnya dengan dia??
Tiba-tiba
dia tertawa — tawa itu tawa yang sangat menyenangkan. “Kenapa tertawa?” tanyaku semakin bingung.
“Kau
begitu aneh dan lucu.” Dia masih tetap tertawa. Dia begitu senang melihat aku
yang keheranan?? Pria ini begitu aneh. “Mereka salah, jika menyangka dirimu itu sangat misterius.
Padahal kau begitu aneh.” Katanya lirih sembari tersenyum simpul. Kini
pandangannya beralih ke langit. Syukurlah, karena aku begitu gugup dipandangi
oleh dirinya, aku merasa seperti orang bodoh saja.
Entah
kenapa, aku merasa kalau tatapannya begitu kosong saat dia memandangi langit
yang begitu cerah. Apa dia juga sedang memikirkan seseorang??
“Aku
sering melihatmu duduk di sini.” Lirihnya pelan, sehingga membuatku tertarik
untuk memandangnya. “Apa kau terus memikirkan mereka, makanya kau selalu duduk
disini??” sambungnya, “kau tahu, aku juga selalu duduk di tempat ini, bahkan hampir
setiap hari. Karena di tempat ini aku bisa mengingat dia dan melihatnya kembali.
Dia yang tidak dapat kugapai lagi, dia yang cinta dan jiwanya tidak dapat ku
kembalikan. Aku tidak bisa mengembalikannya kembali kepada dirinya. Karena aku
begitu mencintainya… Dia hanya dapat kuingat dan kulihat dari kejauhan. Dialah
yang selalu membuatku bahagia dan tersenyum. Dia juga lah yang mengingatkanku
akan kehidupan yang sebenarnya. Aku sangat merindukannya.”
Ternyata
dia sama seperti diriku. Sama-sama menyedihkan…
“Aku
tidak menyedihkan. Tapi, dirimulah yang menyedihkan…” desisnya.
Kenapa
dia bisa mengetahui apa yang aku pikirkan?
“Jangan
mengira,, kalau aku tidak tahu tentang dirimu… gadis kecil.” Katanya lembut.
Degh…
gadis kecil?? Kata-kata itu. Itu adalah kata-kata….
Dia
bangkit, lalu menatapku dan tersenyum simpul.
“Aku..
duluan ya! Jangan lama-lama duduk sendirian di sini. Entar kamu hilang…”
katanya menggodaku — tersungging senyuman manis dibibirnya.
Aku ingin
mengatakan sesuatu kepadanya, tapi kenapa bibir ini tidak dapat digerakkan.
Pikiranku penuh dengan segudang pertanyaan yang ingin aku tanyakan kepadanya,,
tapi yang kulakukan hanyalah diam dan menatapi kepergian pria aneh itu. Bahkan
aku saja tidak tahu siapa dia, dan tidak tahu siapa namanya.
{{{
Sejak
kejadian hari itu pikiranku semakin bertambah kacau. Aku semakin tidak dapat
melupakan mereka, bahkan pria misterius kemarin. Kenapa pria aneh itu semakin
mengingatkanku dengan 2 orang yang tidak dapat aku lupakan dalam hidupku? Dia…
ya, dia… aku harus bertemu dengannya,, aku benci keadaan seperti ini.
Sudah
4 hari aku mencarinya ke tempat yang sama, yaitu taman belakang universitas,
tetapi aku tidak dapat menemukannya. Dia bagaikan sosok makhluk misterius yang
hilang ditelan bumi begitu saja.
Apakah
dia bukan mahasiswa di kampus ini?? Tidak mungkin… karena saat itu dia datang ketika
kampus sedang beroperasi, tidak ada orang luar yang boleh masuk ke universitas
ini kecuali mahasiswa dan dosen. Pikirku.
“Huuh…”
desahku panjang setelah duduk di bawah
pohon mahoni. “Aku sudah mencarinya kesemua fakultas di kampus ini,,
sampai-sampai ke kelas senior dan junior. Tetapi, aku juga tidak dapat
menemukannya.” Lirihku.
Dia
bagaikan bayangan,, bayangan yang hanya ada di dalam pikiranku saja… Bayangan
yang tidak pernah ada… Kenapa?? Kenapa aku harus selalu menyesal pada
akhirnya?? Menyesal, karena membiarkannya
pergi. Menyesal,, karena salah untuk memilih. Dan menyesal,, karena
tidak menanyakan siapa pria misterius itu sebenarnya… Aku… aku benar-benar
menyesal…
{{{
Saat
di perjalanan pulang dari kampus yang tidak jauh dari apartement tempat
tinggalku,, aku berhenti di taman kota
dan memperhatikan orang-orang yang ada di taman.
Baru
kusadari, bahwa saat ini aku bisa tersenyum melihat orang-orang yang begitu
gembira di taman kota
itu. Mungkin sejak kejadian 5 tahun yang lalu, yang membuatku tidak pernah
tersenyum kembali.
Sambil
tersenyum simpul, aku berjalan-jalan di taman itu. Kakiku terhenti seketika
saat aku melintasi bangku taman yang kosong. Aku berhenti bukan karena bangku
itu kosong tetapi karena bangku itu,,, tempat aku dan mereka selalu duduk
bertiga.
Dahulu,
setiap sore hari, seperti sekarang ini,, kami pergi ke taman ini,, bermain di
tempat ini,, dan tertawa bersama. Melalui suka dan duka bersama-sama.
Aku
mendekati bangku itu. Sambil menghela
nafas, aku duduk di bangku itu. Semilir angin sejuk menyapaku dengan belaian
lembutnya, sehingga membuatku merasa nyaman dan tenang.
“Bolehkah
aku duduk di sini,, gadis kecil??” tanya seseorang kepadaku. Aku menoleh,,
sungguh terkejutnya diriku melihat pria yang bertanya kepadaku. Dia…
{{{
Dia
adalah pria misterius yang aku cari
selama 4 hari ini. Tanpa menghiraukan diriku dia duduk di sebelahku, dan
tersenyum kepadaku, senyum itu masih sama seperti senyum yang kemarin — senyum
yang sangat lembut.
“Akhirnya
kita bertemu juga ya.” Pria misterius itu memulai pembicaraan.
Aku
hanya mengangguk setuju.
Dia
beralih memandang lurus kedepan. Walaupun bibirnya masih menyunggingkan sebuah
senyuman manis tapi matanya berkata tidak. Matanya terlihat begitu sendu dan
sayu. Tatapannya begitu kosong. Apa yang sebenarnya terjadi dengan dirinya? Dia
semakin membuatku penasaran.
“Kau
tetap tidak berubah ya.” Lirihnya.
Apa
maksudnya? Dia menatapku kembali. “Kau masih suka duduk sendirian…”
perkataannya serius tapi apa yang dikatakannya itu benar. “…sudah lupakan
saja.” Tawanya.
Aku
mengalihkan pandanganku darinya. Aku merasa setiap saat aku memandangnya, dia
bisa mengetahui apa yang ada dalam benakku.
“Kenapa
kau selalu tahu?” desisku pelan.
“Karena…
karena jiwa mu ada bersamaku…” katanya
lirih.
“Hem??”
kenapa aku yang yang jadi bingung dengan jawaban dari pertannyaan ku sendiri.
“Aku
tau yang kau pikirkan… dan aku tau maksud pertanyaanmu tadi.” Desahnya. Dia
menatapku begitu lekat, sehingga membuatku melemparkan pandangan kedepan.
“Apa
kau tau apa yang saat ini ada di pikiranku?” tanyaku.
“Ya…”
desahnya, “…aku tahu… Saat ini kau sedang memikirkan dia dan aku. Kau ingin
bertemu dengan orang yang kau pikirkan saat ini kan ? Sekarang kau sudah dapat melihatnya.”
“Apa
maksudmu? Sudah dapat melihatnya?” tanyaku bingung.
“Kau
sudah dapat melihat orang yang ingin kau temui. Sekarang ini dia ada
dihadapanmu.”
Aku
terdiam sejenak dan tertawa.
“Akhirnya,,
kau bisa tertawa lagi. Setahu diriku, sudah lama kau tidak tertawa, semenjak
kejadian itu.” Katanya lembut setelah melihat aku tertawa.
Bagaimana
aku tidak tertawa,, perkataannya selalu membuatku bingung.
“Kejadian
apa?”
“Kau
memang orang yang lucu, Tara …”
“Jangan
dipikirkan dari mana aku tahu. Kan
sudah aku katakan kalau aku tahu tentang dirimu.”
Aku
memandangi dua orang remaja yang sedang berjalan di depanku. Kedua remaja itu
sangat romantis. “Kau selalu membuatku bingung…”
“Bukan
aku, tetapi dirimulah yang membuat dirimu bingung. Bahkan aku juga bingung
dengan semua yang ada pada dirimu, Tara …”
Katanya lembut.
Aku??
Apa sih maksud perkataannya. Siapa dia
sebenarnya??
“Kau
masih belum mengerti juga Tara ?”
Aku
hanya menggeleng lemah.
Dia
tertawa melihatku menggeleng. Tawa itu, tawa yang sudah lama tidak pernah aku
lihat lagi. Aku merindukan tawa itu. Kenapa aku merasa begitu mengenali
tawanya? Kenapa tiba-tiba rasa rinduku akan dia; yang entah kemana, hilang
begitu saja setelah melihat tawa pria misterius ini.
“Kau
masih saja seperti dulu Tara , tidak berubah
sedikit pun, kau tetap saja bodoh, gadis kecil.” Bisiknya — tawanya kini berubah menjadi
senyuman yang lembut.
“Kalau
kau bilang aku tidak berubah sedikit pun,, kau salah. Karena aku sudah berubah,
karena aku sekarang menyesal. Padahal dulu saat dia menyakinkanku kalau aku bakalan
akan menyesal, aku dengan yakin bilang kalau aku tidak akan pernah menyesal.
Tapi,, sekarang aku baru sadar kalau aku menyesal telah membiarkannya pergi
dari hidupku. Aku benar-benar menyesal. Dan aku sekarang berubah, karena aku
bukanlah gadis kecil lagi.” Kataku
lemah.
Dia
menatapku, sinar matanya begitu teduh. Aku menyukai sinar mata itu, aku merasa
begitu nyaman.“Bagi ku kau tetap lah gadis kecil yang dulu aku cinta…” dia beralih memandang ke bawah, “aku tahu
kalau kau bakalan menyesal Tara , karena aku
tahu apa yang menyebabkan dirimu meninggalkannya.”
Degh…
Apa
aku tidak salah mendengar?? Gadis kecil yang pernah dicintainya? Aku??
“Ya…
kau Tara … gadis yang pernah ku cintai bahkan
sampai detik ini. Kau juga belahan jiwa ku. Separuh jiwa ku ada bersama
denganmu Tara . Dan sekarang ini, aku ingin kau
mengembalikannya kepadaku.” Katanya datar.
“Apa
kita pernah saling mengenal?? Kau begitu aneh,, bagaimana bisa kau membaca
pikiranku??”
“Dan
bagaimana bisa kau melupakan orang yang ingin kau temui kembali?? Bagaimana
bisa kau melupakan cinta pertamamu itu gadis kecil??” gumamnya dingin.
Dia
menatapku, tatapannya tajam sehingga membuat hatiku merasa seperti dihunus
pedang tajam.
Aku
mengalihkan pandanganku ke depan, “aku…”
“Sudahlah…
mungkin belum waktunya kau ingat akan semuanya. Mungkin suatu saat kau akan
mengerti apa maksudku. Aku akan terus menunggu sampai waktu itu datang…” selanya, “aku duluan ya. Aku masih ada urusan
lagi..” dia merapatkan jaketnya. “Mmm…
lebih baik kau pulang saja Tara , karena sudah
senja, lagian cuacanya dingin, nanti kamu bisa flu lama-lama berada disini.”
Dia beranjak dari duduknya dan menyinggungkan sebuah senyuman yang manis.
“Kalau
boleh aku tahu, siapa namamu?” tukasku.
“Rai.”
Sepertinya
aku pernah mendengar nama itu. Tapi kapan ya?? Apa aku benar-benar pernah
mendengarnya??
{{{
Aku
mengeluarkan kunci apartement dari tas
sandangku. Entah angin apa yang membuatku untuk berbalik dan memandang kamar
apartement di depan kamar apartement ku. Dulunya kamar itu adalah kamar
Tatsuya, tetapi semenjak kejadian itu Tatsuya pindah ke Jepang dan tidak pernah
ada kabarnya lagi. Dan sekarang kamar itu seharusnya masih kosong, tetapi
kenapa keadaan di dalam kamar itu terang, seperti ada orang di dalam. Aku
memberanikan diri untuk mendekati pintu bernomor 207 itu, tetapi entah kenapa
hatiku belum siap untuk mendekati pintu itu, karena aku takut jika yang ada di
dalam itu bukan lah orang yang aku rindukan. Kalau itu benar-benar Tatsuya, aku
juga tidak berani untuk menemuinya. Aku begitu kejam kepadanya. Apa aku masih
pantas bertemu dengannya? Arghh… sudahlah lupakan saja.
Setelah
melemparkan tasku ke kursi, aku berjalan ke dapur mungil milikku. Aku mengambil
sebotol air mineral dari dalam lemari pendingin. Setelah meneguk air dingin,
rasanya pikiranku agak lebih tenang sekarang. Tapi, kenapa pikiranku terus
dibayangi oleh senyuman pria misterius itu? Ah,, bukan tetapi senyuman Rai.
Senyumannya sangat aku kenali. Tetapi apakah mungkin?? Ah,, bukan,, itu tidak
mungkin.
Selesai
mandi dan berpakaian, aku menghempaskan tubuhku ke atas tempat tidur.
“Huh…
lega… Rasanya segar juga setelah mandi.” Kataku, sambil mengambil ponselku di
atas meja. “Apa mungkin ya?? Ah… gak mungkin.” Jari-jariku mengotak-atik ponsel
tanpa tahu apa yang ingin aku lihat. “Kenapa aku hanya tanya namanya saja??
Ahh… Tara … kau memang gadis bodoh…” dengusku
kesal.
Aku
begitu terkejut ketika tiba-tiba ponselku berdering.
“Elise??”
lirihku — ketika melihat di layar LCD ponselku siapa yang memanggil. Aku pun
menjawab panggilan Elise.
“Allo…
Kau sedang bermimpi ya?? Sadar enggak sih ini sudah jam berapa Elise…??” kata
ku panjang lebar.
“Hei…
tenang Tara …” potong Elise. “Aku sadar ini
sudah jam 11 malam. Dan aku tidak sedang bermimpi. Kalau aku sedang bermimpi
berarti mimpiku begitu indah.” Jelas Elise.
“Kurasa
begitu… Kau memang sedang bermimpi sobat.” Lirihku.
“Wahai
Tara Arisugawa, sahabatku yang paling baik, apakah kau ingin tahu kenapa aku
menelpon dirimu?”
“Yeah…”
jawabku pelan. Inilah Elise, kalau bicara tidak pernah to the point, dia selalu
saja berbelit-belit, yang membuat lawan bicaranya kesal.
“Apa
kau benar-benar ingin tahu?” tanya Elise lagi.
“Ya
Elise…” gerutuku kesal.
“Karena
aku lagi bermimpi indah…” jawab Elise berbelit-belit, membuatku semakin
bingung.
“Elliseee…
come on… to the point please!!!” erangku.
“Okey…
Listen… Aku setelah pulang dari tempat kerja tadi mampir ke café Victoria . And…”
“And???”
selaku.
“Aku
bertemu seorang pangeran tampan. Oh amore…I’m unbelieve… I’m sweare, he’s very
handsome.” Jelas Elise.
“So???
Bukannya semua pangeran itu tampan ya?? Hmmm… do you love him???” tanyaku
penasaran.
“Emang
sih semua pangeran itu tampan tapi dia bukan pangeran beneran Tara .
Lagian I don’t love him.”
“Terus
kenapa kau begitu senang sekali?”
“Karena
aku punya ide lebih baik dari pada mencintainya.”
“Maksud
nya?”
“Aku
akan memperkenalkannya kepadamu Tara . Dan
mudah-mudahan saja hatimu terbuka untuknya. Sebenarnya sih kalau aku belum
punya George, mungkin aku akan menjadikannya pangeranku.” Tawa Elise.
“Jangan
harap.” Tukasku.
“Loh,
kenapa Tara ?”
“Karena
aku tidak bisa mencintai orang lain.”
“Hem??
Kau memang orang yang aneh Tara …” kata Elise.
“Ah sudahlah,, yang jelas aku bakalan memperkanalkannya kepadamu besok.”
“Besok?”
suaraku naik satu oktaf mendengar kata Elise.
“Yah…
jangan teriak-teriak ma cherie…Sampai ketemu besok… Bye… Nice dream…” Elise
memutuskan sambungan telfonnya.
“Eliisee….
Kau memang selalu buat masalah…” dengusku kesal.
{{{
“Hei…”
teriak Elise dari belakang yang membuatku mengelus dada.
“Kebiasaan
deh. Kalau aku pingsan gimana?” gerutuku kesal.
“Itu
sih salah kamu sendiri. Masih pagi tapi sudah melamun. Emangnya apa sih enaknya
melamun itu?”
“Emangnya
makanan?” kataku sambil mendorong pelan bahu Elise.
“Habis,,
kau suka sekali melamun.”
“Suka?”
desisku.
“Bukan
suka… Tapi kegiatan rutinitasmu setiap hari.” Tegas Elise. “Jangan tertawa! Tidak
ada yang lucu.” Sergah Elise ketika melihatku tertawa.
“Kau
ada-ada saja.” Tawaku.
“Sudah
ah… Oya,, mau ya yang tadi malam?” tanya Elise penuh harap.
“Kan sudah aku tegaskan,
Jangan Harap!” desahku.
“Come
on Tara,, Pleaseee… I hope you wanna to meet him.” Bujuk Elise.
“Jangan
harap Elise. Aku tidak ingin bertemu dengan siapa pun.”
“Aku
jamin deh, dia orang yang baik.”
“Ma
cherie,, aku tidak ingin bertemu dengan dia, sekalipun dia orang paling baik di
dunia ini.”
“Lihat
saja,, kau pasti menyesal.” Dengus Elise.
“Oh
ya?” tawa ku pelan.
“Jangan
tertawa,, tidak ada yang lucu.” Sergah Elise.
“Kau
lucu sekali Elise.”
“Huh…”
desis Elise.
{{{
Setelah
pulang dari kampus, aku dan Elise pergi ke café Victoria . Akhirnya aku terpaksa mengikuti
kemauan Elise untuk bertemu dengan pangeran yang dimaksudkannya. Kalau tidak
karena Elise kesal kepadaku, aku tidak akan menuruti keinginannya.Setelah
mengambil posisi meja yang cukup nyaman, Elise memesan menu makanan. Tempat
yang kini aku duduki sangatlah begitu indah, aku bisa secara langsung melihat
keramaian di luar sana , dan melihat keindahan
sore kota Paris .
Tak lama kemudian seseorang pria tampan yang memiliki senyuman manis
menghampiri kami.
“Hai
Elise…” sapa pria itu lembut.
“Hai…”
balas Elise.
“Hai
Tara…” sapa pria itu kepada ku — dia duduk di hadapanku.
Aku
pun mengerjap-ngerjapkan mataku, aku tidak percaya siapa pangeran yang
dimaksudkan Elise kepadaku. “Rai??” kataku bingung.
“Senang
bisa bertemu denganmu kembali Tara .” Kata Rai
lembut.
“Bagaimana
bisa?” tanyaku bingung.
“Apa
kalian sudah saling mengenal?” tanya Elise.
“Ya…
bahkan sangat mengenal.” Jawab Rai tenang.
“Oh
ya??” Elise tidak percaya. “Kenapa kau tidak pernah bilang Tara ,
kalau kau memiliki seorang teman konseling?”
“Konseling?” desisku. “Kau bekerja di kedutaan ya?”
“Ya
begitulah…”
“Jadi,
kau belum tahu kalau dia konseling dari Jepang, Tara?” tanya Elise bingung.
“Belum…”
sahutku pelan.
“Loh,,
bukannya Rai bilang kalau kalian saling sangat mengenal.”
“Hanya
aku yang mengenal Tara , tapi dia tidak dapat
mengenaliku Elise.” Kata Rai — matanya terus saja menatapiku tanpa celah,
sehingga membuatku sedikit salah tingkah.
Di
saat makan kami terus membicarakan tentang diri Rai. Dan sekarang aku sudah
tidak penasaran dengan pria ini lagi. Aku sekarang sudah tahu siapa dirinya,
walaupun tidak seutuhnya. Dia seorang konseling utusan dari Jepang yang baru
saja lulus dari Universitas Tokyo
fakultas Hubungan Internasional. Dia merasa tertarik dengan negara Prancis ini
karena tiga hal, yaitu karena ayahnya yang berasal dari Prancis,kedua dia dilahirkan
dan dibesarkan di Prancis walaupun hanya sampai usia 18 tahun, dan ketiga
karena dia ingin kembali kepada cinta pertamanya yang telah berhasil merebut
hati dan jiwanya. Prancis menyimpan begitu banyak memori dikehidupannya. Begitu
juga bagiku. Paris , kota yang sangat aku suka walaupun aku
dilahirkan di Jepang. Dan Paris adalah kota
yang paling banyak menyimpan duka di kehidupanku.
{{{
Sudah hampir sebulan aku dekat dengan Rai, tetapi
aku tidak juga dapat mengetahui apa yang sebenarnya mengganjal di hatiku
tentang Rai. Kenapa senyuman Rai bagaikan suatu rahasia yang sulit untuk aku
pecahkan? Sepertinya aku sangat mengenali senyuman indah itu, tapi siapa? Rai…
Rai… dan Rai… Akhir-akhir ini topik pembicaraanku dengan Elise hanyalah tentang
Rai. Sampai-sampai Elise pernah berkata kepadaku, “Hem… dulu nolak berat,,
tetapi sekarang cinta mati nih.”
Sepertinya
ada rasa yang terpendam sejak lama di hatiku dengan Rai. Tapi apa mungkin? Aku
baru saja mengenalnya. Dan aku telah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak
mencintai orang lain.
Rai
baru saja menjemputku dari kampus. Belakangan ini aku sering diantar dan dijemput
Rai jika aku ingin ke kampus atau ke tempat lain. Hari ini Rai menjemputku di
halaman kampus dengan mobil Toyota
crown silvernya.
Setelah
naik ke lift aku berjalan menyusuri lorong-lorong apartement. Akhirnya aku
sampai di depan pintu kamar apartementku. Saat aku ingin membuka pintu, kunci
ku terjatuh. Sebelum aku mengambil kunciku, sudah ada seorang pria manis yang
mengambilkannya untukku. Aku menatap wajahnya, wajah itu,,, wajah yang sangat
aku rindukan. Pemilik wajah itu adalah orang yang pernah aku cintai. Dan
karnanya juga aku berpisah dengan seseorang yang telah mengambil belahan
jiwaku. Tatapannya tidak pernah berubah,, tatapan yang tajam tapi sangat menentramkan
hati. Tak kurasakan kalau air bening mengalir di kedua pipiku.
“Kemana
saja kau?” tanyaku lirih. Air mata terus mengalir di pelipisku. Lalu dia
memelukku. Di dalam pelukkannya aku terisak-isak, “Kau jahat… kau tega…”
“Maafkan
aku Tara .” Jawabnya pelan.
“Apa
hanya itu saja yang ingin kau katakan dan
jelaskan padaku?” isakku.
“Tidak…
banyak yang ingin aku katakan dan aku jelaskan kepadamu Tara .
Tapi, yang jelas saat ini yang ingin kulakukan hanyalah ingin memelukmu.” Jawabnya
lembut. “Aku sangat merindukanmu Tara . Aku
benar-benar tidak sanggup kehilanganmu Tara .”
“Aku
juga sangat merindukanmu. Aku sangat kehilangan dirimu.” Desisku.
{{{
“Kau
tidak berubah Tara ..” gumamnya pelan sembari
terus mengelus kepalaku di dalam pelukannya.
“Mmm…
semua orang bilang begitu kepadaku, Davied.” Lirihku, kini isakan ku mulai
mereda.
“Cep..
cep… sudahlah jangan nangis lagi gadis cantik.” Bujuknya lembut.
Aku
melepaskan pelukannya. “Kenapa kau pergi? Dan apa yang membuatmu kembali lagi pria
bodoh?”
Davied
tertawa mendengar ucapanku.
“Tidak
lucu.” Sergahku sedikit kesal.
“Kau
memang tidak berubah. Selalu saja mengataiku dengan sebutan itu…” tawanya
lembut, “huh… kau benar Tara , aku memang pria
bodoh, bahkan paling bodoh di dunia ini.” Desahnya pelan.
“Aku
tahu itu… dan sekarang jelaskan kepadaku, Davied!” pintaku.
“Sabar
Tara, kau memang tidak bisa dibiarkan penasaran sedikit pun…” katanya pelan sembari kembali mengelus
kepalaku dengan lembut. “Bagaimana kalau sekarang kau buka pintu. Dan
mempersilahkan aku masuk. Aku capek menunggumu dari tadi di luar.”
“Hai…
kau amnesia ya? Bukankah kamarmu di sebelah? Jadi untuk apa kau menungguku di
luar.”
“Tara
Arisugawa… kalau aku menunggumu di dalam apartement ku, bagaimana bisa aku tahu
jika kau sudah pulang.” Jelas Davied.
“Benar sih…”
{{{
“Tara …” lirih Davied.
“Ya?”
aku menoleh ke arah Davied yang duduk di sebelahku.
“Musim
dingin sudah dekat ya…” gumamnya lembut — dia terus menatap ke langit, entah
apa yang sedang dipikirkannya. “Aku merindukan tempat ini. Balkom apartement-mu
tetap sama seperti dulu. Dari sini bisa lihat bintang dan kota
Paris dari
atas.”
“Bukannya
dari balkom apartement-mu juga bisa? Kau memang pria bodoh Davied. Kamar
apartement-mu ada di sebelah kamar apartement-ku. Dan kau juga punya teropong
bintang, jadi kau bisa melihatnya.” Jelasku.
Dia
beralih memandangku, mata kami beradu. Aku akui, tatapan Davied sangat lembut
dan hangat. Tidak seperti tatapan mata Rai, tatapan matanya tajam tapi
membuatku merasa nyaman.
“Kau
ingin terus menatapku atau ingin mulai menjelaskan semuanya?” suaraku terdengar
sedikit serak.
Dia
tersenyum simpul, ya Tuhan senyuman yang begitu indah.
“Aku
ingin terus menatapmu gadis manja.” Katanya lembut.
“Baiklah…
tapi kau harus bayar jika ingin menatapku.”
“Apa
bayarannya??” desis Davied.
“Aku
ingin kau membayarnya dengan memberikan penjelasan.” Tegasku.
“Hmmm….
Baiklah… Kau ingin aku memulai dari mana? Apa yang harus aku jelaskan?” Goda
Davied.
“Daviieeedd…”
erangku kesal.
“Okey…
aku akan menjelaskan segalanya.” Kata Davied
— bibirnya menyinggungkan sebuah senyuman yang manis. “Aku pergi
meninggalkan dirimu karena aku tidak ingin menyusahkan dirimu Tara .”
Tatapan Davied kini hanya terfokus ke bintang di angkasa sana .
“Lalu
apa maksudmu kau akan menyusahkanku Davied?” Selaku.
“Alasan
aku meninggalkanmu karena aku tidak mau kau tahu bahwa aku mengidap penyakit kanker
otak stadium akhir…” lirih Davied.
“Apa?”
kataku tidak percaya.
“Saat
itu aku bingung, apa yang harus aku lakukan. Aku tidak ingin kau akan
memikirkan penyakitku, karena aku tahu saat itu kau juga masih belum seutuhnya
dapat melupakan Tatsuya. Jadi,, aku mengambil keputusan untuk pergi dari Paris dan aku tinggal di London bersama keluargaku.”
“Kau
tahu kalau aku saat itu belum dapat melupakan Tatsuya seutuhnya, tapi kenapa
kau juga meninggalkanku. Setelah Tatsuya pergi, kau juga pergi meninggalkanku
tanpa meninggalkan pesan apa pun. Kau menghilang begitu saja. Dan itu semakin
membuatku terpuruk. Setelah aku kehilangan sebagian jiwaku, aku juga harus
kehilangan cintaku karena kau meninggalkanku. Kau kejam Davied.” Tukasku
memotong perkataan Davied.
“Maafkan
aku Tara … maafkan aku jika aku telah membuatmu
sedih. Aku tidak bermaksud begitu. Aku akui kalau aku memang salah… Apakah
masih ada ruang untukku di hatimu Tara ?”
Aku
bingung harus menjawab apa, aku tidak tahu apa aku masih mencintainya atau
tidak. Tapi aku tidak ingin kehilangan dirinya lagi.
“Tara …” bisik Davied pelan.
“Semenjak
kau pergi, aku tidak pernah membuka hatiku untuk siapa pun. Ntah kenapa aku
tidak dapat melupakanmu.” Lirihku.
“Bagaimana
dengan Tatsuya?” tanya Davied.
“Mungkin,,
perasaan ku kepadanya masih tetap sama
seperti dulu, tidak berubah sedikitpun. Maafkan aku.”
“Tidak
apa-apa Tara … Bagaimana kalau Tatsuya juga
kembali? Kau akan memilih aku atau dia?”
“Apa
aku harus menjawabnya?”
“Tentu
saja.”
Aku
akan memilih kau dan dia, karena aku tidak ingin kehilangan kalian. Oh… mungkin
jawaban itu jawaban orang egois.“Mmm… Dia tidak mungkin kembali.” Desisku.
“Kau
yakin?”
“Ya…
dia tidak mungkin kembali ke sini.”
“Dia
pasti kembali kepadamu Tara .” Desah Davied
panjang.
“Bagaimana
kau tahu?” kini beralih aku yang menatapnya penuh harap.
Dia
membalas tatapanku. Kenapa harus aku yang merasa nervous, padahal aku yang mulai
menatapnya. “Karena kau adalah cinta sejati baginya.”
“Cinta
sejati? Hah… ada-ada saja kau.” Tawaku.
“Dasar
gadis aneh…” Davied mengelus kepalaku dengan lembut.
“Oya,
gimana dengan penyakitmu itu?”
“Tenang
saja… aku tidak pernah mengidap penyakit kanker otak. Hasil pemeriksaan di Paris salah, aku sudah check up ke London dan Jerman dan hasilnya negatif.”
“Memang
Paris kota yang
menyebalkan. Gara-gara dia aku harus kehilangan dirimu.” Gerutuku sebal.
“Sudahlah…
kini kan aku
sudah kembali.” Kata Davied lembut sembari menggenggam tanganku.
{{{
Pagi
ini kota Paris
sungguh indah. Aku menghirup dalam-dalam udara pagi yang masih segar dari atas
balkom kamarku.
“Pagi
Tara …” sapa Davied dari balkom kamar nya.
Aku
menoleh dan membalas senyumannya, “pagi juga pria bodoh.”
“Kenapa
sih dari dulu kau suka sekali memanggilku dengan sebutan pria bodoh?” tanya
Davied penasaran.
“Karena
kau memang pria yang bodoh.”
“Why?”
“Mmm…
karena kau tertipu oleh dokter Paris .
Dan kau bodoh karena telah meninggalkanku.”
“Hmm…
masuk akal sih. Semakin pintar saja si gadis manja.”
“Kau
juga kenapa suka memanggilku dengan sebutan gadis manja? Padahal aku kan tidak manja.”
“Karena
aku suka dengan gadis yang manja. Aku tahu kau tidak manja, tetapi agar kau kelihatan
manja jadinya aku memanggilmu gadis manja.”
“Huuhhh…
aku benci panggilan itu.” Gerutuku.
“Ayolah…
biarkan aku memanggilmu gadis manja!! Aku sudah terbiasa memanggilmu dengan
sebutan itu.” Bujuk Davied.
“Tidak…”
“Ayolah
Tara…” melas Davied.
“Baiklah…”
akhirnya aku luluh dengan bujukan Davied. Sesungguhnya aku benar-benar benci
dengan sebutan gadis manja.
“Hari
ini kau tidak ke kampus gadis manja?”
“Ke
kampus. Kenapa?” tanyaku kesal.
“Jam
berapa?”
“Jam
delapan.”
“Pulang
jam berapa?”
“Makan
siang. Kenapa sih?”
“Baiklah…
aku akan mengantar dan menjemputmu hari ini. Aku bingung ingin kemana hari
ini.”
“Terima
kasih.”
{{{
Saat
aku membuka pintu mobil Davied, Rai pun muncul dan keluar dari dalam mobilnya
sehingga membuatku tidak jadi masuk ke dalam mobilnya Davied. Entah kenapa ada
perasaan shock di antara Davied dan Rai. Ada
apa dengan mereka? Kenapa mereka merasa seperti saling tidak percaya.
“Hai
Rai…” sapa ku memecah kesunyian diantara kami bertiga.
“Hai
Tara.” Balas Rai gugup.
“Oya
Davied, perkenalkan ini Rai teman baruku, dia seorang konseling negara Jepang.”
Kataku kepada Davied. “Rai… ini Davied, teman lamaku, baru tadi malam dia
kembali dari London .”
Kataku kepada Rai.
Rai
dan Davied merasa saling tidak percaya dengan apa yang aku katakan. Mereka
saling tukar pandang yang membuatku tidak mengerti. “Kenapa kalian diam saja?”
tanyaku bingung.
Rai
pun akhirnya mengulurkan tangannya, “hai aku Rai.”
Davied
pun membalas uluran tangan Rai, “hai,, Davied.” Jawab Davied bingung.
“Oya
Rai, maaf hari ini aku tidak bisa pergi bersamamu. Hari ini aku ingin bersama
Davied. Kau tidak keberatankan?” tanyaku lembut.
“Oh
tidak… Lagian kan
kau sudah lama tidak bersamanya. Selamat bersenang-senang ya.” Rai pun berlalu
meninggalkan kami berdua.
“Aku
merasa aneh dengan sikap Rai dan sikapmu Davied.” Kataku bingung.
“Aku
tidak mengerti.” Kata Davied.
“Sudahlah,
ayo.”
{{{
“Kenapa
dia lama sekali?” benakku. Sudah hampir 15 menit aku berdiri di halaman
univesitas tetapi Davied tidak juga muncul.
“Hei…
kenapa sih kok gelisah? Rai belum jemput ya?” tanya Elise yang muncul dari
belakangku.
Bukan
Rai tetapi Davied, Elise. “Dia belum menjemputku.”
Ponselku
berderit, sebuah pesan masuk. Aku membukanya.
Hey,, Gadis manja… Maafkan pria bodoh ini
ya…
Aku tidak dapat menjemputmu…
Aku ada urusan mendadak…
Maafkan aku. Aku janji akan membalasnya.
Love You
_Davied_
“Dia
tidak bisa menjemputku.” Lirihku.
“Ayo…”
kata Elise sambil menarik tanganku.
“Kita
mau kemana?” tanyaku bingung.
“Sudah
tenang saja. Aku lapar, kita ke café Victoria .”
Jelas Elise.
Karena
tidak tahu ingin kemana, akhirnya aku mau saja naik ke mobil Elise dan ikut
bersamanya.
Sampai
di café Victoria ,
aku dan Elise mengambil tempat duduk di tempat biasa. Dua pria tampan dan
jangkung masuk ke dalam café. Aku mengenali ke dua pria itu. Mereka, Davied dan
Rai. Kenapa mereka di sini? Kenapa mereka bisa datang secara bersamaan?
Mereka
duduk di belakang kami, dibilik sebelah. Setelah memesan, mereka memulai
pembicaraan berdua, sepertinya pembicaraan yang serius.
“Kenapa
kau kembali kemari?” terdengar suara Davied berbicara.
“Aku
rasa kau tahu apa jawabanku Dev.” Jawab Rai.
“Yeah…
aku rasa. Dan ada apa dengan kau dan Tara ?
Kenapa Tara seperti tidak mengenalimu? Dan kenapa Tara
memanggilmu dengan sebutan Rai bukan Tatsuya?”
Tatsuya??
Rai adalah Tatsuya? Apa maksudnya? Pikirku.
“Dia
sudah lupa kepadaku. Malang
sekali nasibku, dilupakan oleh orang yang aku cintai. Kau masih ingat, aku
meninggalkan kalian, di saat itu Tara masih buta.
Mana mungkin Tara mengingat wajahku yang
berubah.” Jelas Rai.
“Oh ya,
aku ingat saat itu Tara masih buta. Tapi
kenapa dia bisa lupa, sedangkan aku saja masih sangat mengenali dirimu. Padahal
kau cinta pertamanya.” Kata Davied.
“Itu
karena aku berusaha untuk melupakannya, agar aku tidak bisa mengingat orang
yang aku sayangi telah pergi menjauh
dariku karena diriku sendiri. Aku tidak ingin terus bersedih karena mengingat
wajahnya dihadapan orang yang mencintaiku. Aku memang berusaha melupakannya.
Dan usaha aku berhasilkan? Aku memang benar-benar lupa kepadamu kak.” Kataku —
air bening mengalir dari kedua sudut
mataku.
Elise
bingung denganku yang menangis tiba-tiba dan dengan peerkataanku yang tidak
dapat dimengertinya.
“Tara … kau kenapa? Apa maksudmu?” tanya Elise gusar.
“Maafkan
aku Elise.” Kataku pelan sembari berdiri dan berlari meninggalkannya.
“Tara …” panggil Elise, membuat seisi café melihat ke arahku
yang berlari, termasuk Rai dan Davied.
“Tara ?” desis Rai dan Davied bersamaan.
Rai
melihat ke arah suara yang memanggil
Tara,“Elise?” tanya Rai.
“Rai?” kata
Elise tidak percaya jika ada Rai
di café itu juga.
{{{
Aku
duduk di bawah pohon Mahoni biasa tempat aku beristirahat di saat jam kelas kosong.
Kampus sudah sepi, hari ini hari Minggu, tidak semua mahasiswa datang ke kampus.
Taman belakang universitas sudah tidak ada
pengunjungnya lagi selain diriku.
“Ada apa dengan semua ini?
Apa yang terjadi?” gumamku.
Aku
bersandar di bawah pohon Mahoni dan memandangi langit. Semilir angin lembut
yang menerpa tubuhku membuatku kembali ke masa lalu ku. Di mana aku, Davied dan
Tatsuya adalah tetangga sejak kecil. Davied dan Tatsuya adalah teman masa
kecilku. Mereka bukan hanya sekedar teman bagiku tetapi aku anggap sebagai saudara.
Tatsuya bagaikan kakak untukku berhubung umur dia lebih tua dari aku dan
Davied. Tatsuya orang yang baik, lembut dan bijaksana. Sedangkan Davied orang
yang selalu perhatian, selalu menolong ku di saat sekolah atau pun di rumah,
jika tidak ada Tatsuya. Davied orang yang sangat terbuka dan lucu, sedangkan Tatsuya
orang yang sangat dingin, dia bagaikan pangeran es. Dari aku kecil aku sangat
menyukai Tatsuya walaupun terkadang Tatsuya hanya menganggapku sebagai adiknya.
Tapi aku tidak menyerah untuk menyukainya karena selalu ada Davied yang mensuportku
untuk terus menyukai Tatsuya, padahal Davied juga sangat menyukaiku. Walaupun
Tatsuya hanya menganggapku sebagai seorang adik, dia terkadang sering meminta
kepadaku, jika kami sudah dewasa nanti aku mau menikah dengannya. Huuhh… aku
merindukan saat-saat itu. Di saat Tatsuya bilang ingin menjadikanku sebagai
istrinya. Di saat Tatsuya mengajakku ke Ice Skate dahulu. Dan di saat dia
selalu menganggapku sebagai gadis kecil yang tidak pernah dewasa.Masa lalu yang
sangat indah, tetapi karena suatu musibah yang menimpa diriku membuatku benci
untuk mengingat masa lalu ku. Saat itu umurku 13 tahun dan Tatsuya berumur 16
tahun, aku kecelakaan sehingga membuat kedua mataku buta, walaupun bukan buta
permanent. Untuk menyembuhkan mataku, aku harus menunggu waktu yang lama,
setidaknya dalam waktu 3 tahun. Tetapi mataku sembuh hanya dalam waktu 2 tahun,
dan di saat mataku sudah sembuh aku sudah tidak dapat melihat orang yang aku
cintai. Dia sudah pergi karena keinginanku sendiri. Selama aku sakit yang ada
disampingku hanyalah Davied. Karena kebaikan hatinya yang setia kepadaku dan
selalu menjagaku, hal itulah yang membuat aku akhirnya dapat mencintainya dan berusaha
untuk melupakan Tatsuya untuk selamanya.
Sebulir
salju jatuh lembut di pipiku sehingga membuatku tersadar dari bayangan masa
laluku. Kupandangi langit, hari sudah mau senja. Musim sudah mulai berganti.
Tetapi kenapa perasaanku tidak juga berganti? Kenapa hanya aku saja yang
terus-terusan begini? Perasaan yang tidak pernah jelas. Egois kah aku jika aku
menginginkan masa laluku itu kembali lagi? Aku ingin kembali ke masa lalu yang
indah itu walaupun pada akhirnya aku
harus berusaha untuk melupakan dirinya.
“Sudah
aku duga, pasti kau disini gadis kecil.” Kata seorang pria tampan mendekatiku,
dan duduk di sebelahku. “Maafkan aku Tara .”
“Kenapa
kakak harus minta maaf?” tanyaku pelan.
“Karena
aku tidak benar-benar yakin pada hatiku. Dan karena aku tidak dapat membaca apa
yang kau pikirkan saat itu, yang aku lakukan hanya mendengar ucapanmu.”
Desahnya lembut.
Aku
tertawa kecil mendengar ucapannya. Sesungguhnya tawa itu tawa yang sangat
menyedihkan. “Kakak tidak salah, yang salah itu aku. Karena aku tidak yakin
bahwa kakak cinta kepadaku.” Desisku
pelan.
Dia
menyenderkan kepalaku di bahunya. “Ini semua salah Karin. Karena dia
menghasutmu dan memaksamu untuk meninggalkanku.” tangannya terus mengelus lembut kepalaku.
“Karin?”
tanyaku kaget.
“Sudahlah
Tara. Aku sudah tahu semuanya. Karinlah penyebab semua ini. Karin sendiri yang
bilang kepadaku bahwa dia telah memintamu untuk meninggalkanku karena dirimu
tidak pantas untukku, karena saat itu kau buta.”
“Kenapa
Karin cerita kepada kakak?” tanyaku heran.
“Karena
setelah pindah dari Paris ,
aku tidak pernah mau bicara kepada siapapun, semua orang yang aku temui dan
mengajakku bicara selalu aku panggil dengan namamu, termasuk Karin. Karena
Karin tahu bahwa aku tidak dapat mencintainya, dan yang aku cintai hanya
dirimu, akhirnya dia cerita yang sebenarnya kepadaku. Dia juga minta maaf
kepadamu karena dia telah memaksamu untuk melupakanku. Apa kau mau
mememaafkannya?”
“Tentu
saja aku memaafkannya.” Kataku lembut.
“Apa
kau ingat kejadian 5 tahun yang lalu, di saat kau memaksaku untuk pergi ke
Jepang demi study ku?” tanya Tatsuya lembut — tatapan matanya sangat membuatku
nyaman.
“Yeah…”
desisku.
{{{
Tatsuya
dan aku mengingat masa 5 tahun yang lalu.
“Pergilah
ke Jepang bersama kedua orang tua kakak.” kataku.
“ Aku
tidak ingin pergi kemanapun termasuk Jepang.” Bantah Tatsuya.
“Ayolah
kak, ini juga demi study kakak dan keinginan orang tua kakak.” bujukku.
“Aku
tidak ingin meninggalkanmu Tara . Bagaimana
nanti jika tidak ada aku di sini? Siapa yang akan menjagamu?”
“Kakak
tenang saja, masih ada Davied yang akan menjagaku.”
“Kenapa
sih harus Davied, selalu saja Davied?” tanya Tatsuya kesal.
“Karena…”
“Karena
apa?”
“Karena….
Aku mencintainya.” Desahku panjang. Maafkan aku jika aku harus berbohong kepada
kakak. Aku melakukan ini demi kakak.
“Bagaimana
dengan aku Tara ?” desis Tatsuya.
“Maafkan
aku.” Kedua sudut mataku mengalir lembut air bening.
“Jadi,,,
sekarang apa yang harus aku lakukan?”
“Kakak
harus meninggalkan Paris dan pergi ke Tokyo . Juga…”
“Juga
apa?”
“Menikahlah
dengan Karin.”
“Tara …” Tatsuya memegang kedua bahuku. “Kalau aku harus ke
Tokyo , aku bisa
melakukannya. Tapi jika untuk menikah dengan Karin, aku tidak bisa
melakukannya…” katanya lembut tetapi tegas. “Kau sudah janji kepadaku bahwa kau
hanya akan menikah denganku.”
“Tapi…”
keluhku, kini air mataku semakin deras. Aku tidak sanggup untuk menahan gejolak
yang ada di dalam hatiku. Aku bingung apa yang harus aku lakukan.
“Tara … sampai kapanpun aku tidak bisa mencintai orang
lain. Karena kau cinta pertama dan terakhirku. Kau yang selalu membuatku
berarti. Kau yang selalu membuatku merasa tenang. Hanya dirimu yang dapat
menentramkan jiwaku. Aku tidak bisa hidup tanpamu. Kau adalah cinta dan belahan
jiwaku. Separuh jiwaku ada bersamamu. Dan aku harap kau juga menganggapku sebagaimana
aku mengganggapmu.” Tatsuya menarik tubuhku kedalam pelukannya. Walaupun saat
itu aku tidak dapat melihat wajahnya, tapi aku merasakan bahwa yang dikatakannya
itu benar-benar tulus dari hatinya. Di dalam pelukannya aku merasa ada buliran
air yang membasahi rambutku. Pasti Tatsuya menangis.
Aku
melepas pelukan Tatsuya. “Maafkan aku.” Itulah kata terakhir yang aku ucapkan
kepadanya sebelum dia pergi meninggalkanku.
{{{
Hari
semakin senja, salju pun semakin banyak berjatuhan membasahi tubuhku dan
Tatsuya.
“Ayo..
aku antar kau pulang Tara !” kata Tatsuya
membuyarkan lamunan masa lalu kami.
Di
dalam mobil menuju apartemenku, aku dan Tatsuya hanya diam membisu satu sama
lain. Jujur, aku sangat menyukai sikap Tatsuya yang tenang dan dingin. Walaupun
dia sedang berfikir keras tetapi sinar matanya tetap tenang dan senyuman manis selalu
terukir di bibirnya yang sempurna.
“Jangan
menatapku begitu gadis kecil.” Kata Tatsuya lemah, pandangan matanya masih
terfokus ke depan, senyuman manis masih
terukir di bibirnya.
Aku
mengalihkan pandanganku ke luar jendela, menatapi sisi jalan yang sudah agak
gelap.
“Rai.”
Gumamku pelan .
“Kau
masih belum ingat ya? Kenapa kau melupakanku Tara ?
Bagaimana bisa kau dapat melupakan orang yang kau cintai?” tanya Tatsuya.
“Rai Tatsuya Dunport. Hanya kak Stepheny yang
memanggil kakak dengan sebutan Rai. Menurut dia Rai lebih baik dibandingkan
Tatsuya yang terlalu menampakkan nama orang Jepangnya.”
“Ya…
hanya kakak ku yang memanggilku dengan sebutan Rai.” Tatsuya menatapku sekilas.
“Kenapa kau melupakanku Tara ?”
“Apa
aku harus menjawabnya?” bisikku.
“Tentu.”
Ku
tatap mata Tatsuya tajam-tajam, matanya yang sipit dan berwarna kelabu
memancarkan khas ketenangan di dirinya. “Agar aku tidak bisa mengingat orang
yang aku sayangi telah pergi menjauh
dariku karena keinginan ku sendiri. Karena aku tidak ingin terus bersedih kalau
mengingat wajah kakak jika aku ada disisi orang yang mencintaiku. Aku memang
berusaha untuk melupakan kakak. Ternyata usahaku tidak sia-sia. Aku dapat
melupakan kakak dengan mudahnya.” Kataku tenang.
Tatsuya
tertawa kecil setelah mendengar jawabanku.
“Kenapa
tertawa?”
Ujung
bibir Tatsuya menyinggungkan sebuah senyuman indah. “Karena kau tidak benar
bisa melupakan diriku Tara .”
“Maksud
kakak apa?” tanyaku bingung.
“Jika
kau benar lupa padaku, kau tidak mungkin masih menyimpan rasa cintamu itu
kepadaku. Kau mungkin sudah membuka hatimu untuk pria lain.” Ujar Tatsuya.
Mobil
Tatsuya berhenti di halaman apartement. Kami berdua turun dan menaiki lift
menuju kamar apartemenku.
Saat
kami tiba di kamar apartementmu, Davied berjalan gelisah
di depan kamar apartementku, sembari memegang ponsel ditangannya.
“Davied…”
sapaku.
Davied
menoleh ke arahku. Dan berjalan cepat kearah ku. “Tara ,,
kau membuatku cemas.” Davied memelukku erat.
Aku
melirik ke arah Tatsuya. Tatsuya pura-pura tidak melihat Davied memelukku.
Entah kenapa aku merasa bersalah kepada Tatsuya dan Davied. “Maafkan aku Dev…
Maafkan aku telah membuatmu cemas.” Aku berusaha melepaskan pelukan Davied.
“Aku
mencarimu ke taman kota
dan universitasmu tetapi aku tidak dapat menemukanmu. Aku mencoba menghubungi
ponselmu tetapi ponselmu mati.” Ujar Davied cemas.
“Davied…
tenanglah,, aku tidak apa-apa, I’m fine. Jangan cemas.” Kataku menenangkan
Davied. Yeah… aku akui, Davied sangat berbeda dengan Tatsuya, Davied orang yang
sangat perhatian, cemas dan cerewet.
{{{
Aku
mempersilahkan Tatsuya dan Davied duduk, dan meninggalkan mereka berdua di
ruang tamu. Setelah aku kembali lagi ke ruang tamu, Tatsuya sudah tidak ada.
“Kemana
kak Tatsuya?” tanyaku kepada Davied.
“Katanya
dia ada urusan penting di kantor kedutaannya. Jadi dia pamit pergi.” Jawab
Davied lembut.
Davied
mengelus kepalaku dengan lembut karena melihatku sedikit khawatir, “sudah
tenanglah, dia bakalan kembali.” Sambung Davied dingin. Davied menarikku ke
dalam pelukannya. Baru kali ini aku mendengar ucapan Davied begitu dingin,
tidak seperti biasanya.
{{{
Pagi
ini cuaca sangat dingin, salju terus turun sejak semalam. Rasanya waktu begitu
cepat berlalu. Aku melihat ke balkon apartement Davied, tirai pintu kaca
kamarnya masih tertutup. Apa Davied belum bangun ya? Mana mungkin, hari ini
hari senin, dari dulu Davied sangat menyukai awal pekan, pastinya dia bangun
lebih awal.
“Apa
Tatsuya sudah pulang? Lebih baik aku datang saja ke kamarnya untuk memastikan.”
Berkali-kali
aku mengetuk pintu kamar Tatsuya tetapi tidak ada yang menyahut dan membuka
pintu.
Apa
Tatsuya belum pulang? Atau dia sudah berangkat lagi ke kantornya? Pikirku.
Aku
berjalan ke kamar apartement Davied. Hasilnya sama saja, berkali-kali aku
memanggilnya tetapi tidak ada yang menyahut.
“Kemana
mereka?”
Tiba-tiba
ponsel ku berderit. Sebuah pesan masuk.
Pagi
Tara
Aku
menunggumu di basement kampus
Hari
ini tugas akhir semester harus di serahkan
Kalau
tidak kau tidak akan mendapatkan liburan musim dingin
Jangan
sampai dosen killer itu menghukummu lagi
_Elise_
“Kenapa
aku bisa lupa kalau hari ini harus diserahkan. Haah… gawat.” Lirihku. “Bukannya
pagi ini Elise kerja?”
Aku
parkirkan mobilku di basement kampus.
Sudah banyak mobil yang tersusun rapi pagi ini. Hari ini memang awal pekan
liburan semester musim dingin. Jika sudah musim dingin banyak orang di kota Paris
tidak ingin keluar dari rumah, sebab karena hawa diluar bisa membuatmu mati
kedinginan.
“Hey…”
sapa Elise. Aku menoleh ke arahnya. “Tumben nih bawa mobil sendiri. Biasanya
diantar Rai.”
“Tatsuya
sedang sibuk, jadi aku terpaksa bawa mobil sendiri.”
“Siapa
itu Tatsuya?” tanya Elise bingung.
“Rai.”
“Maksud
kamu?” Elise semakin bingung.
“Aduh..
gimana ya menceritakannya kepadamu. Susah
untuk dijelaskan.”
“Sudah
lah… aku jadi semakin bingung… Ayo.” Sergah Elise
Aku
dan Elise berjalan meninggalkan halaman basement kampus.
“Hari
ini kau tidak masuk kerja Elise?”
“Sebenarnya
masuk, cuma gara-gara tugasnya harus diserahkan, jadinya hari ini aku cuti.”
Jelas Elise.
* * *
“Ada apa denganmu Tara ?”
tanya Elise sembari meneguk minuman lemonnya. Setelah menyerahkan tugas dan
memperbaikinya di perpustakaan universitas, sore ini aku dan Elise mampir ke
café Victoria .
“Tidak
ada.” Jawabku singkat.
“Ayolah
Tara,, cerita saja kepadaku. Sejak di kampus tadi kau kelihatan murung.” Bujuk
Elise.
“Mungkin
karena aku lelah saja, lagian sore ini cuacanya sangat dingin.”
“Bukan
alasan.” Delik Elise.
“Sudahlah,
percuma saja kau pelototi aku begitu. Aku tidak apa-apa.” Tawaku.
“Dasar
gadis misterius.” Ralat Elise.
“Jangan
cemberut gitu! Sudah makan saja tu makananmu!” godaku.
Ponselku
berdering. Davied memanggil.
“Allo…”
“Hai
gadis manja… aku menunggumu sore ini di pantai biasa kita melihat hari senja.”
Sela Davied.
“Kenapa
disana? Dan kau kemana saja satu hari ini? Aku lelah menghubungimu tapi tidak
kau jawab.” Kataku panjang lebar.
“Sudahlah
nanti saja aku jelaskan. Kau harus datang. Bye…” Davied menutup teleponnya.
“Dasar
bodoh…” desisku kesal.
“Siapa
yang bodoh?” tanya Elise penasaran. “Dan siapa yang menelfon?”
“Bukan
siapa-siapa.” Jawabku pelan.
“Kenapa
kau buru-buru Tara ?” tanya Elise penasaran
melihatku membenahkan isi tasku. “Ada
hal penting?”
“Maaf
Elise aku duluan ya, sepertinya memang ada hal yang penting.” Jawabku lembut.
“Bye… sampai ketemu besok.” Aku berlalu meninggalkan Elise di café dan
meluncurkan mobilku ke arah timur menuju pantai.
Setelah
memarkirkan mobil, aku berjalan menyusuri bibir pantai, sembari menunggu Davied
datang aku duduk di atas pasir putih yang berkilauan. Aku merapatkan jaketku,
hari ini sungguh dingin. Kulirik jam di tanganku, baru 5 menit aku menunggu
tetapi rasanya seperti sudah beberapa jam. Kenapa perasaanku tidak enak.
Jantungku berdetak tidak normal. Apa yang akan terjadi? Kemana Davied?
“Tara …” kata seorang pria disebelahku. Aku menoleh ke arah
suara itu.
“Kakak…”
kataku terkejut. Tatsuya duduk di sampingku.
Kenapa
Tatsuya? Dimana Davied?
“Kenapa
kakak ada disini?” tanyaku.
“Kau
sendiri sedang apa di sini?” balas Tatsuya bertanya.
“Aku…
aku sedang menunggu Davied… Tadi dia menelfon menyuruhku untuk datang kemari.”
desisku.
“Owh…
Tadi, Davied juga menelfonku, dia minta tolong kepadaku.”
“Apa
itu?” tanyaku, kuberanikan untuk menatap Tatsuya. Baru kali ini tatapan Tatsuya
hangat, biasanya tatapannya begitu dingin seperti cuaca sekarang ini.
“Dia
minta tolong jagakan sesuatu yang sangat berharga baginya. Dan bahagiakan dia
sampai akhir hayatku.”
“Hemph…
lalu apa yang berharga itu?”
“Kau
Tara…” lirih Tatsuya.
“Jangan
bercanda. Oya kenapa Davied belum datang juga?”
“Dia
tidak akan datang, Tara .” Kini pandangan
Tatsuya beralih ke langit yang sudah mulai senja.
“Apa
maksud kakak?” tanyaku bingung.
Tiba-tiba
ponselku berderit. Ku ambil ponsel dari dalam kantong jaketku. Sebuah pesan.
Gadis manja, maafkan aku, aku tidak dapat
menepati janji
Aku tidak bisa datang
Walaupun aku tidak datang, tetapi sudah
ada orang yang lebih baik untuk menemanimu
Aku akan kembali ke London
Mmm… Aku memang pria bodoh,
karena aku telah mencintai orang yang
tidak benar-benar mencintaiku
Aku sangat bodoh,
telah membuat gadis yang sangat kucintai
terus bersedih
Aku memang bodoh,
terus memaksamu untuk mencintaiku
Maafkan aku Tara
Bye…
_Davied_
Air
bening mengalir dari kedua pelipis mataku. Aku merasa bersalah kepada Davied.
Perasaanku seperti dicabik-cabik, begitu sakit hatiku membaca pesan dari
Davied.
“Kenapa
kakak tidak bilang dari tadi kalau Davied kembali ke London ?” tanyaku, suaraku terdengar serak.
“Maafkan
aku Tara … Davied melarangku untuk
memberitahumu.” Jawab Tatsuya lemah.
“Ini
dari Davied.” Tatsuya memberikan sebuah amplop dari saku jasnya.
Aku
membuka amplop dari Davied, isinya surat .
Sambil menangis aku membaca isi surat
dari Davied.
To : My Love
Tara Arisugawa
Hey Gadis Manja…
Maafkan aku tidak bisa bicara langsung
kepadamu. Melalui surat
ini aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu. Sesuatu yang menyangkut hidup dan
matiku, kau dan Tatsuya.
Haahh… sudahlah. Aku tidak ingin terlalu
larut dalam kesedihan. Aku ingin kau selalu tersenyum Tara ,
seperti dulu. Aku lebih menyukai Tara yang cerewet dari pada Tara
yang pendiam. Dan satu lagi… jangan menangis lagi! Karena aku tidak dapat
menghapus air mata di pipimu. Aku tidak ingin Tatsuya melihatmu menangis karena
diriku.
Mungkin sampai disini dulu surat dariku, aku harus bergegas. Hari ini
aku harus terbang ke London .
Selamat tinggal Paris …
Selamat tinggal kenangan… Selamat tinggal Tara …
Semoga kau hidup bahagia bersama Tatsuya… I Love You Forever.
Sahabat
baikmu,
_Davied_
Air mataku semakin deras, aku
semakin terisak. Tatsuya menghapus air mata di pipiku. Dan merebahkan kepalaku
dipundaknya. “Aku janji, aku tidak akan pernah meninggalkannya Davied. Aku
janji akan terus menjaganya seumur hidupku. Terima kasih telah merelakannya
untukku.” Gumam Tatsuya sembari terus mengelus kepalaku dengan lembut.
Salju mulai turun dari langit,
matahari semakin condong, hari sudah senja, angin pun semakin dingin. Mungkin
hari ini aku merasa bahagia karena aku akan terus bersama Tatsuya selamanya.
Tetapi aku juga sedih, jika berpisah dengan Davied.
“Davied… cinta tidak harus memiliki,
tetapi cinta itu adalah anugerah terindah dari Tuhan. Walaupun aku tidak dapat
mencintaimu sebagai kekasih hatiku, tetapi aku mencintaimu sebagai sahabat
terbaikku.” Lirihku dalam hati.
_ The End _
By: Syafriza Ulfa (syafrizaulfa@yahoo.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar